Amunisi Besar dalam Omnibus Law Sektor Keuangan untuk Selamatkan Bank
Tekanan terhadap sektor keuangan mulai mereda. Meski begitu, masih ada potensi badai krisis ketika pandemi Covid-19 berakhir. Karena itu, DPR tengah menggodok omnibus law sektor keuangan guna mengantisipasi kemungkinan datangnya badai tersebut.
Aturan sapu jagat yang diinisiasi lembaga legislatif ini tertuang dalam Rancangan Undang-Undang tentang Reformasi, Pengembangan, dan Penguatan Sektor Keuangan. Reformasi sektor keuangan saat ini juga menjadi salah satu fokus utama pemerintah.
Anggota Badan Legislatif DPR Hendrawan Supratikno menjelaskan, ada dua undang-undang terkait keuangan negara dan sistem keuangan yang akan masuk sebagai tambahan prolegnas prioritas 2021. Pertama, RUU Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah yang merupakan inisiatif pemerintah. Kedua, RUU Reformasi Sektor Keuangan yang merupakan inisiatif DPR.
"Kami akan membahas RUU reformasi dan penguatan sektor keuangan yang dilakukan dengan metode omnibus law," ujar Hendrawan kepada Katadata.co.id, Rabu (3/12).
Dengan bakal dibahasnya RUU tersebut, menurut Hendrawan, rencana amandemen UU BI dikeluarkan dari prolegnas prioritas 2021. Namun hingga kini, RUU tersebut belum diputuskan di Baleg untuk dibawa ke paripurna.
Berdasarkan draf RUU yang diterima Katadata.co.id, ada lima ruang lingkup yang diatur. Pertama, pengawasan bank secara terpadu. Kedua, tindak lanjut pengawasan bank. Ketiga, penanganan permasalahan bank. Keempat, penataan ulang kewenangan kelembagaan. Kelima, sanksi.
Beleid ini antara lain mengatur pembentukan forum pengawasan perbankan terpadu. Forum ini menyelenggarakan pengawasan melalui koordinasi OJK, BI, LPS untuk menyepakati kondisi bank dan merumuskan rekomendasi kebijakan penanganan permasalahan bank.
Anggota forum akan terdiri dari kepala eksekutif pengawasan perbankan OJK, anggota dewan gubernur, anggota dewan komisioner LPS, dan sekretaris KSSK. Namun,sekretaris KSSK tak memiliki suara sebagai anggota dalam mengambil keputusan.
Forum ini, antara lain akan merumuskan dan menetapkan indikator penilaian kondisi bank, mengalanisisnya, serta memastikan terbangunnya sistem data dan informasi sektor keuangan terintegrasi antara ketiga lembaga. Forum ini juga bertugas memberikan rekomendasi kepada OJK sebagai pertimbangan untuk menetapkan bank sistemik dan status pengawasan bank.
Penetapan bank sistemik tetap dilakukan oleh OJK secara berkala satu kali dalam enam bulan. Adapun pemutakhiran daftar bank sistemik wajib disampaikan kepada Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
Pengaturan dan penetapan status pengawasan bank juga tetap berada di bawah kewenangan OJK. Namun beleid ini mengubah status pengawasan bank terbagi menjadi bank dalam pengawasan normal, bank dalam penyehatan, dan bank dalam resolusi. Dalam POJK Nomor 15/POJK.13/2017 yang berlaku saat ini, status pengawasan bank terbagi menjadi tiga, yakni normal, intensif, dan khusus.
Beleid ini juga memberikan kewenangan yang lebih luas kepada OJK dan LPS dalam penanganan bank sakit. Pada bank dalam pengawasan normal yang mengalami kesulitan, OJK antara lain dapat melakukan penggabungan dan peleburan bank dengan bank lain, meminta bank dijual, menyerahkan pengelolaan sebagian atau seluruh kegiatan bank kepada pihak lain, serta menjual sebagian atau seluruh aset bank kepada pihak lain.
Pada bank yang berada dalam penyehatan, OJK dapat mengambil alih kewenangan RUPS, komisaris, direksi, dan pemegang saham, memerintah pemegang saham menambah modal atau memberikan pinjaman, hingga menunjuk pengelola statuter.
Adapun OJK dapat menetapkan bank dalam resolusi jika mengalami setidaknya tiga kondisi. Pertama, jika mengalami pemburukan dan tidak memenuhi ketentuan permodalan minimum dan/atau giro wajib sebelumm jangka waktu bank dalam penyehatan atau maksimal 12 bulan sejak ditetapkan. Kedua, belum memenuhi ketentuan permodalan dan/atau permasalahan likuiditas mendasar hingga jangka waktu bank dalam penyehatan. Ketiga, tidak dapat mengembalikan penempatan dana LPS.
Sementara kewenangan tambahan yang diberikan kepada LPS dalam RUU ini, terutama mencakup penanganan permasalahan bank dalam penyehatan atau sebelum ditetapkan gagal. LPS dapat melakukan uji tuntas terkait kondisi bank, penjajakan dengan bank lain yang bersedia menerima sebagian/seluruh aset atau kewajiban bank, serta penjajakan dengan investor yang bersedia mengambil alih bank.
LPS juga dapat menempatkan dana pada bank dalam penyehatan atas permintaan OJK dan menjadi pengelola statuter bank tersebut.
Kewenangan LPS untuk menangani bank gagal melalui empat metode resolusi yang sudah diatur dalam Undang-undang PPKSK juga dipertegas dalam omnibus law ini. Pertama, pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban bank kepada bank penerima atau purchase and assumption. Kedua, pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban bank kepada bank perantara atau bridge bank. Ketiga, penyertaan modal sementara. Keempat, likuidasi.
Selain itu, LPS juga dapat menjual/repo surat berharga negara yang dimiliki BI, menerbitkan surat utang, meminjam kepada pihak lain, dan/atau meminjam kepada pemerintah. RUU ini juga mengatur pinjaman likuiditas jangka pendek atau PLJP Bank Indonesia kepada perbankan.
Taring Menkeu
Selain mengatur kewenangan BI, OJK, dan LPS, aturan sapu jagat ini mengatur penataan ulang kewenangan Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Posisi menteri keuangan yang sebelumnya hanya menjadi koordinator dalam UU PPKSK diubah menjadi ketua merangkap anggota.
Pengambilan keputusan dalam KSSK dilakukan secara musyawarah untuk mufakat. Namun jika mufakat tidak tercapai, maka Menteri sebagai Ketua KSSK dapat mengambil keputusan atas nama KSSK.
Ketua Bidang Pengembangan Kajian Ekonomi Perhimpunan Bank Nasional Aviliani mengatakan menkeu dalam UU PPKSK sebelumnya hanya berfungsi sebagai koordinator dalam KSSK. Hal ini dapat menyulitkan proses pengambilan keputusan.
"Karena itu posisi menekeu seharusnya memang bukan hanya koordinator, tetapi ketua," kata Aviliani kepada Katadata.co.id, Rabu (3/12).
Secara keseluruhan, menurut dia, omnibus law dibutuhkan untuk mengantisipasi jika terjadi pemburukan pada perbankan. Tantangan bagi perbankan akan semakin berat mulai tahun depan dengan pertumbuhan kredit yang hanya mencapai 3%.
Salah satu hal penting yang memang perlu diatur dalam omnibus law sektor keuangan, menurut Aviliani, adalah terkait tambahan kewenangan untuk LPS. Pemerintah sebenarnya sudah memperluas kewenangan LPS melalui PP Nomor 33 Tahun 2020.
Dalam PP itu, LPS dapat menyelamatkan bank sebelum ditetapkan sebagai bank gagal oleh OJK. Namun, menurut Aviliani, PP tersebut tak cukup kuat karena berada di bawah undang-undang sehingga memang perlu diatur dalam omnibus law.
"Tambahan kewenangan LPS ini penting sekali untuk mencegah ada bank yang gagal. Jangan sampai ada bank yang gagal. Karena kalau sudah gagal, biayanya akan sangat mahal," katanya.