Pemulihan Ekonomi AS Bakal Mengancam Kenaikan Utang Indonesia

Agatha Olivia Victoria
9 Maret 2021, 08:45
pemulihan AS, utang pemerintah
ANTARA FOTO/REUTERS/Amira Karaoud/HP/dj
Suntikan vaksin Covid-19 untuk komunitas imigran di Atlanta, Georgia, Amerika Serikat, Sabtu (27/2/2021).

Ekonomi Amerika Serikat mulai berangsur pulih dari tekanan pandemi Covid-19. Perbaikan ekonomi negeri adidaya ini tercermin dari data tenaga kerja, percepatan vaksinasi Covid-19 dan disetujuinya kebijakan stimulus fiskal jumbo AS sebesar US$ 1,9 triliun. Stimulus fiskal tersebut diramal akan mendorong penyerapan lapangan kerja sekitar 6 juta.

Bloomberg melaporkan pemulihan ekonomi terlihat dari data Non-Farm Payroll AS di sektor swasta nonpertanian mencapai 379 ribu pada Februari 2021, meningkat dibandingkan Januari yang tercatat 166 ribu.  Selain itu, tingkat pengangguran AS turun dari 6,3% menjadi 6,2%.

Non-Farm Payroll merupakan perubahan jumlah tenaga kerja AS di semua sektor, kecuali pegawai pemerintah, ibu rumah tangga, yang bekerja pada organisasi non-profit (LSM) dan pertanian. Data ini mencerminkan kondisi ketenagakerjaan di sektor komersil dan industri di Negeri Paman Sam.

Faktor tersebut menyuntikkan optimisme pemulihan ekonomi yang tercermin dari survei bulanan Bloomberg terbaru yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal pertama 2021 secara tahunan akan mencapai 4,8%. Proyeksi ini dua kali lebih tinggi dari jajak pendapat ekonom pada dua bulan lalu.

Sentimen positif ditambah pengumuman Presiden AS Joe Biden mengenai terpenuhinya pasokan vaksin Covid-19 pada akhir Mei 2021 atau dua bulan lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Kemungkinan percepatan vaksinasi terjadi karena perusahaan Merck & Co. akan membantu Johnson & Johnson dalam memproduksi vaksin Covid-19.

Survei bulanan Bloomberg tersebut juga memperkirakan produk domestik bruto AS setahun penuh akan melesat 5,5%, atau menjadi yang tercepat sejak 1984. Proyeksi ini di atas jajak pendapat pada Januari yang memperkirakan PDB tahunan sebesar 4,1%.


Direktur Riset Center Of Reform on Economics Piter Abdullah Redjalam berpendapat bahwa arah perbaikan ekonomi AS akan berdampak negatif terhadap aliran modal asing dan nilai tukar rupiah. "Ini sudah berlangsung selama dua minggu terakhir," kata Piter kepada Katadata.co.id, Senin (8/3).

Ia menjelaskan, keyakinan investor bahwa perekonomian AS akan membaik mendorong investor untuk kembali ke negeri dengan ekonomi terbesar dunia itu. Modal asing pun bergerak ke Negeri Paman Sam meninggalkan negara berkembang, termasuk Indonesia sehingga menekan rupiah.

Nilai tukar rupiah pada pasar spot melemah 0,46% sepanjang pekan lalu dan ditutup di posisi Rp 14.300 per dolar AS. Rupiah anjlok akibat keluarnya modal asing dari pasar keuangan domestik.

Sementara itu, rupiah berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, melemah 0,99% dalam sepekan ke posisi Rp 14.371 per dolar AS. Bank Indonesia melaporkan dana asing yang keluar pada pekan lalu sebesar Rp 400 miliar.

Secara terperinci, dana asing keluar dari pasar surat berharga negara (SBN) Rp 1 triliun, tetapi masuk di pasar saham Rp 600 miliar. Kendati demikian sepanjang tahun ini, masih terjadi aliran modal asing masuk Rp 1,56 triliun.

Piter menyebutkan bahwa kaburnya dana asing dari Tanah Air akibat melimpahnya likuiditas seiring kebijakan AS yang menginjeksi likuiditas untuk mendorong perekonomian. Hal tersebut telah mendorong imbal hasil alias yield obligasi Negeri Paman Sam.

Adapun kebijakan BI yang terus menurunkan suku bunga menyebabkan spread atau perbedaan yield di luar dan dalam negeri menyempit dan tidak cukup besar menutup risiko. "Minat investor untuk SBN dan portofolio dalam negeri menurun," katanya.

Ekonom LPEM FEB Universitas Indonesia Teuku Riefky mengatakan bahwa implikasi keluarnya dana asing dari pasar keuangan RI bahkan bisa meningkatkan utang pemerintah. "Ini karena capital outflow akan membuat yield SBN naik," kata Riefky kepada Katadata.co.id.

Seperti diketahui, hingga kini porsi utang pemerintah masih didominasi oleh surat berharga negara (SBN). Kemenkeu melaporkan bahwa posisi utang pemerintah per akhir Januari 2021 mencapai Rp 6.233,14 triliun. Rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) naik dari 38,68% pada Desember 2020 menjadi 40,28%.

Pada Januari 2021 saja, pemerintah tercatat menarik utang Rp 165,83 triliun. Kondisi ekonomi Indonesia yang masih berada dalam proses pemulihan akibat pandemi Covid-19 menjadi penyebab pemerintah menarik utang besar-besaran.

Menurut komposisinya, utang pemerintah masih didominasi oleh penerbitan surat berharga negara (SBN), yaitu sebesar Rp5.383,55 triliun atau 86,37% dari total komposisi utang per akhir Januari 2021. Sementara utang dalam bentuk pinjaman tercatat Rp 849,59 triliun atau 13,63%.

SBN terdiri dari domestik Rp 4.133,38 triliun dan valas Rp 1.250,17 triliun. Sedangkan pinjaman berasal dari dalam negeri Rp 12,53 triliun dan luar negeri Rp 849,59 triliun.

Direktur Surat Utang Negara DJPPR Kemenkeu Deni Ridwan mengatakan bahwa rendahnya penawaran yang masuk sebagai dampak dari peningkatan imbal hasil alias yield obligasi Amerika Serikat. "Kondisi pasar surat berharga negara saat ini dipengaruhi volatilitas pergerakan UST Treasury Note," kata Deni dalam keterangan resminya, Selasa (2/3).

BI sempat mengkhawatirkan kenaikan imbal hasil surat utang Negeri Paman Sam yang sudah berlangsung sejak Februari lalu akan dapat menganggu keseimbangan aliran modal asing ke Indonesia. Direktur Eksekutif Departemen Ekonomi dan Kebijakan Moneter BI Yoga Affandi mengatakan kenaikan yield obligasi AS terutama terjadi pada tenor 10 tahun.

"Imbal hasil surat utang Negeri Paman Sam diperkirakan terus meningkat dan ini sesuatu yang agak menganggu," kata Yoga dalam webinar Harmonisasi Kebijakan Moneter dan Fiskal, Rabu (24/2).

Reporter: Agatha Olivia Victoria
Editor: Yuliawati

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...