Sri Mulyani Ajak Bersinergi Awasi dan Lawan Korupsi
Pemerintah menghadapi tantangan besar dalam mengelola keuangan negara di tengah pandemi corona. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyayangkan tindakan pencurian uang negara atau korupsi di tengah beban negara yang luar biasa.
Sri Mulyani menyoroti pengunaan data fiktif dan duplikasi data penerima bantuan sosial. Dia berharap aparat pemerintah di semua lini dapat saling mengawasi dan meminimalkan korupsi.
"Seluruh upaya yang dilakukan dengan menggunakan uang negara maupun peraturannya bisa saja disalahgunakan sehingga memunculkan tindakan kriminal atau fraud," ujar Sri Mulyani dalam Peluncuran Aksi Pencegahan Korupsi STRANAS PK 2021-2022, Selasa (13/4).
Dia menekankan agar sinergi kementerian/lembaga serta aparat penegak hukum termasuk Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) sangatlah penting. Meski demikian, pengawasan internal di masing-masing kementerian/lembaga tetap menjadi hal yang tidak boleh dilupakan.
"Berbagai upaya pencegahan korupsi tidak boleh hanya menjadi slogan, pencegahan korupsi membutuhkan sinergi dari seluruh pemangku kepentingan dan seluruh lapisan masyarakat," kata dia.
Bendahara Negara pun berharap berbagai aksi mendorong munculnya budaya pencegahan korupsi menjadi tanggung jawab bersama. Dengan begitu, budaya itu akan bisa diterjemahkan dalam kinerja seluruh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang semakin baik, transparan, efektif, efisien, bertanggung jawab, dan semakin bebas dari korupsi.
Kementerian Keuangan pun akan meningkatkan komunikasi dalam meningkatkan kesadaran kementerian/lembaga serta kementerian daerah untuk mengelola keuangan negara secara amanah. "Dalam hal ini bertanggung jawab dan tidak koruptif," ujarnya.
Peneliti Mata Garuda Institute Muhammad Yorga Permana berpendapat, pemutakhiran data penerima bansos sangat diperlukan apalagi jika pemerintah ingin memperluas bantuan. "Bukanlah hal yang mustahil meskipun memang tidak mudah," kata Yorga dalam opini tertulisnya di laman Katadata.co.id, Jumat (19/3).
Menurut dia, pemerintah seharusnya bisa memperluas bantuan sosial karena pandemi tidak hanya memberi dampak kepada mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Kelas rentan (vulnerable class) yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan dan calon kelas menengah (aspiring middle class) yang juga terpukul secara ekonomi selama masa pandemi tidak boleh diabaikan.
Laporan Bank Dunia tahun lalu menunjukan, kedua kategori kelas tersebut memiliki jumlah yang paling besar di Indonesia. Pada 2016, besarnya kelas rentan dan calon kelas menengah masing-masing adalah 24% (65 juta) dan 45% (115 juta) dari penduduk Indonesia.
Dua per tiga calon kelas menengah ini bekerja di sektor informal sehingga pendapatannya tidaklah stabil sebagaimana kelas menengah pada umumnya. Berangkat dari angka tersebut, saat ini setidaknya ada lebih dari 50% keluarga Indonesia yang masuk kategori kelas menengah bawah yang hidup di atas garis kemiskinan tetapi tetap membutuhkan bantuan sosial selama pandemi.
Pada 2021, total penerima program bantuan Program Keluarga Harapan (PKH), pemberian bahan makanan pokok melalui bantuan uang tunai, dan bansos sebanyak 38,8 juta keluarga yang juga termasuk di antaranya 10 juta keluarga pra-sejahtera.
Yorga menuturkan bahwa sudah banyak usulan kajian mengenai metode penambahan data penerima bansos, seperti identifikasi penerima manfaat melalui data telepon seluler dengan bekerja sama dengan perusahaan telekomunikasi. "Pelibatan pemimpin komunitas lokal seperti kepala desa dalam pendataan penerima manfaat juga bisa dilakukan," ujarnya.