Regulasi LCS Akan Terbit, Transaksi RI-Tiongkok Tak Perlu Pakai Dolar
Bank Indonesia dan Tiongkok telah menyepakati kerja sama mata uang lokal alias local currency settlement (LCS) bersama Tiongkok. Regulasi kerja sama antara kedua negara segera rampung sehingga dapat diimplementasikan dalam waktu dekat.
"Kami harap optimisme penerapannya akan sangat tinggi," kata Direktur Eksekutif Kepala Departemen Pengembangan Pasar Keuangan BI Donny Hutabarat dalam Media Briefing Implementasi Blueprint Pengembangan Pasar Uang 2025 untuk Membangun Pasar Uang Modern dan Maju di era Digital, Jumat (25/6).
Dia menyebutkan bahwa tujuan LCS adalah mendorong mata uang lokal dalam transaksi kegiatan perdagangan dan investasi antara Indonesia dengan negara mitra. Dengan demikian, transaksi antara kedua negara diharapkan tak lagi bergantung terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Melalui skema ini, importir Indonesia yang hendak mengimpor barang dari Tiongkok dapat melakukan transaksi menggunakan mata uang yuan melalui bank operasionalisasi kerangka LCS. Sebaliknya, eksportir Indonesia dapat dibayar dalam mata uang rupiah, tanpa perlu mengkonversinya ke dalam dolar AS.
Kerangka kerja sama tersebut akan mengurangi biaya transaksi valuta asing terhadap rupiah dengan adanya kuotasi harga secara langsung antara rupiah dengan mata uang negara mitra. Hal ini diharapkan dapat mengembangkan pasar keuangan berbasis mata uang lokal, mendorong diversifikasi mata uang, dan memperluas akses pelaku usaha.
Donny mengatakan, Indonesia saat ini telah bekerja sama dengan empat negara , yakni Malaysia, Thailand, Jepang, dan Tiongkok. LCS merupakan salah satu instrumen untuk meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter. Ini merupakan bagian dari inisiatif utama blueprint pengembangan pasar uang 2025.
Selain LCS, sambung Donny terdapat lima instrumen lainnya guna meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter. Kelima instrumen tersebut yakni repo, IndONIA dan JIBOR, overnight index swap, DNDF, serta instrumen hedging jangka panjang.
Bank Sentral AS, The Fed memberikan sinyal kenaikan bunga dan pengurangan likuiditas atau tapering off belakangan ini. Hal tersebut pun menjadi kekhawatiran pasar dan menyebabkan nilai tukar rupiah melemah.
Sebelumnya, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede berpendapat BI bisa memperkuat kerja sama LCS dengan bank sentral di regional Asia dalam merespons proses normalisasi kebijakan moneter Negeri Paman Sam. Tujuannya, untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS.
Selain itu, ia menyarankan bahwa BI perlu mengelola stabilitas perekonomian dengan mendorong pendalaman pasar keuangan termasuk pasar uang. Kemudian, memperkuat ker jasama bilateral swap agreement dengan bank sentral global dalam rangka memastikan likuiditas valas seperti yang saat ini telah berjalan.
"Dengan kombinasi kebijakan tersebut, cadangan devisa diharapkan berada dalam level yang solid dan pasar keuangan semakin dalam sehingga membatasi dampak negatif yang berpotensi ditimbulkan oleh normalisasi kebijakan moneter AS," ujar Josua kepada Katadata.co.id, awal pekan ini.