Kronologi Aset BLBI yang Disegel Pemerintah di Lippo Karawaci Rp 1,3 T
Pemerintah menggelar seremoni penguasaan aset eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia oleh Satgas BLBI pada Jumat (27/8). Salah satu aset yang disegel adalah tanah seluas 251.992 m2 di Perumahan Lippo Karawaci, Kelapa Dua, Tangerang yang bernilai Rp 1,33 triliun.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD sempat menyebut bahwa aset yang telah dikuasai negara itu adalah aset properti eks Bank Lippo Group yang diserahkan kepada BPPN sebagai pengurangan kewajiban BLBI. Namun, tak lama pemberitaan ini menyeruak, Lippo Group membantah pernah menjadi penerima BLBI.
Corporate Communications Lippo Karawaci Danang Kemayan Jati menjelaskan, lahan yang disita pemerintah bukan milik Lippo Karawaci dan telah dikuasai oleh pemerintah secara hukum sejak 2001.
Kepemilikan lahan tersebut, menurut dia, memang terkait dengan pemberian BLBI terhadap bank-bank yang diambil alih pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada saat krisis moneter 1997. Namun, ia menegaskan, tidak ada satu pun perusahaan Lippo, termasuk Bank Lippo, yang pernah meminta atau mendapatkan dana BLBI.
“Pemberitaan bahwa seolah-oleh ada penyitaan lahan atau aset yang dikaitkan Lippo sebagai obligor dahulu atau sekarang, adalah sepenuhnya tidak benar,” ujar Danang.
Satgas Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI menjelaskan, aset tanah yang berlokasi di Perumahan Lippo Karawaci telah tercatat pada laporan keuangan pemerintah pusat senilai Rp 1,33 triliun. Seluruh dokumen kepemilikan aset ini juga sudah atas nama BPPN, yang artinya merupakan milik pemerintah.
“Selama ini, aset yang berlokasi di Lippo Karawaci telah dimanfaatkan oleh pihak ketiga tanpa izin dari Kementerian Keuangan. Pihak ketiga telah disurati atau diingatkan,” demikian tertulis dalam siaran pers.
Adapun aset ini, menurut Satgas BLBI, akan dikelola lebih lanjut oleh negara, terkait penggunaan, pemanfataan, hibah, maupun bentuk pengelolaan lain.
Lantas benarkah Grup Lippo tak menerima BLBI?
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Pengembalian Dana BLBI yang dirilis Badan Pemeriksa Keuangan pada 6 Februari 2006, Bank Lippo tidak termasuk daftar 15 bank dalam likuidasi (BDL). Bank yang masuk dalam daftar tersebut, yakni Bank Pacific, Bank Sejahtera Bank Umum, Bank Harapan Sentosa, Bank Guna Internasional, Bank Industri, Bank Anrico, Bank Jakarta, Bank SEAB, Bank Pinaesaan, Bank Dwipa Semesta, Bank Astria Raya, Bank Kosagrha Semesta, Bank Mataram Dhanarta, Bank Citrahasta Dhanamanunggal, dan Bank Umum Majapahit.
Meski demikian, Bank Lippo termasuk dalam Program Rekapitalisasi Perbankan akibat krisis tahun 1997-1998. Program tersebut diatur dalam Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia Nomor 53/KMK.017/1999, 31/12/KEP/GBI tentang Pelaksanaan Program Rekapitalisasi Bank Umum.
Bank Lippo dan BPPN menandatangani Investment, Managemen, and Performance Agreement pada 19 Mei 1999. Nilai rekapitalisasi negara pada Bank Lippo mencapai Rp 8,7 triliun.
Program BLBI berbeda dengan rekapitalisasi negara meski sama-sama menggunakan instrumen surat utang negara. Jika BLBI disuntikkan kepada bank yang kesulitan likuiditas, program rekapitalisasi merupakan penyertaan modal negara melalui penerbitan saham baru (rights issue) pada bank-bank yang modalnya anjlok akibat krisis. BLBI lebih mirip seperti pinjaman, sedangkan rekapitalisasi berbentuk pengambilalihan saham bank.
Bank Lippo menjadi bank yang menjadi penerima rekapitalisasi karena memiliki modal di bawah batas minimum yang diwajibkan. Penerbitan saham baru itu dilakukan dua kali pada akhir 1998 dan tahun 1999, yang berujung kepada beralihnya kepengendalian Bank Lippo ke pemerintah melalui BPPN dengan menguasai mayoritas saham alias lebih 50% saham bank tersebut.
Belakangan, BPPN melakukan divestasi Grup Lippo yang dimenangkan konsorsium Swissasia Global dengan nilai Rp 1,25 triliun. Namun selanjutnya Swissasia melepas kepemilikannya di Bank Lippo kepada Khazanah Berhard, Malaysia senilai US$ 350 juta. Seiring kebijakan kepemilikan tunggal (Single Presence Policy), Khazanah yang juga memiliki Bank Niaga akhirnya melebur kedua bank tersebut menjadi Bank CIMB Niaga.