Rupiah Berpotensi Melemah Tertekan Masih Kuatnya Isu Tapering Off
Nilai tukar rupiah dibuka menguat tipis 0,06% ke level Rp 14.300 per dolar AS pada perdagangan pasar spot pagi ini. Analis meramal rupiah masih berpotensi melemah di tengah sentimen tapering off The Fed yang masih tinggi.
Mengutip Bloomberg, nilai tukar rupiah bergerak menguat ke posisi Rp 14.285 per dolar AS hingga pukul 10.00 WIB. Mayoritas mata uang Asia lainnya menguat pagi ini. Won Korea Selatan 0,50%, yen Jepang dan dolar Taiwan 0,03%, peso Filipina 0,13%, rupee India 0,15%, yuan Tiongkok 0,40%, ringgit Malaysia 0,11%. Sedangkan bath Thailand melemah 0,06% bersama dolar Singapura dan dolar Hong Kong sebesar 0,01%.
Namun, Analis pasar uang Ariston Tjendra memperkirakan rupiah masih berpotensi berkonsolidasi di area Rp 14.300 per dolar AS. Rupiah berpotensi melemah di kisaran Rp 14.330-Rp 14.350 per dolar AS dengan level support di kisaran Rp 14.290 per dolar AS. Rencana tapering off alias pengetatan stimulus oleh bank sentral AS masih menjadi sentimen utama pelemahan nilai tukar.
"Pelaku pasar masih mewaspadai kebijakan tapering yang mungkin akan diberlakukan di bulan November atau Desember. Tapering ini menandai dimulainya kebijakan pengetatan moneter," ujar Ariston kepada Katadata.co.id, Senin (4/10).
Bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) pada pertemuan Rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) edisi September mengumumkan bahwa tapering off berupa pengurangan pembelian aset akan dilakukan 'segera'. Kendati demikian, The Fed belum memberi keterangan yang jelas kapan langkah tersebut akan dimulai. Pasar mengantisipasi bank sentral akan mengumumkannya pada pertemuan FOMC bulan depan dan memulai tapering pada Desember 2022.
Pasar juga memperkirakan The Fed akan mempercepat rencana kenaikan suku bunga yang semula akan dimulai 2023 menjadi lebih awal, diperkirakan kenaikan suku bunga pada kuartal III 2022. Langkah ini akan dilakukan setelah pengurangan pembelian aset berakhir pada pertengahan tahun depan.
The Fed selama ini melakukan pembelian aset senilai US$ 120 miliar setiap bulannya untuk mendukung pemulihan ekonomi AS. Aset ini teridiri atas US$ 80 miliar berupa obligasi pemerintah dan US$ 40 miliar berupa obligasi beragun hipotek.
Selain penantian pasar terhadap rencana tapering off The Fed, pasar tampaknya mengantisipasi risiko gangguan ekonomi di sejumlah negara yang diakibatkan oleh keterbatasan energi. "Ini bisa menjadi sentimen negatif untuk aset berisiko," kata Ariston.
Negara-negara di zona Uni Eropa menghadapi level inflasi tertinggi dalam 13 tahun akibat akibat harga energi yang meroket. Inflasi zona euro pada September tercatat sebesar 3,4%. Ini merupakan yang tertinggi sejak September 2008 yang mencapai 3,6%. Kenaikan harga-harga terutama terjadi di Jerman sebesar 4,1%, ini merupakan yang tertinggi sejak 30 tahun terakhir.
Melonjaknya inflasi di kawasan Eropa didorong oleh tingginya harga energi. Harga gas bulan depan di pusat TTF Belanda yang menjadi harga patokan kawasan Eropa, telah meningkat hampir 400% sejak awal tahun ini.
Sementara dari dalam negeri, Ariston melihat laporan data ekonomi terutama Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur yang dirilis akhir pekan lalu menunjukkan pemulihan yang masih berlanjut. Perbaikan tersebut membantu menahan nilai tukar tidak terdepresiasi lebih dalam.
"Secara keseluruhan, perkembangan ekonomi Indonesia membaik dan ini menjaga rupiah tidak terlalu melemah," kata Ariston.
IHS Markit pada Jumat (1/10) melaporkan PMI Manufaktur Indonesia berhasil keluar dari zona kontraksi pada September ke level 52,2. Tahap ekspansif sektor manufaktur ditandai oleh angka PMI yang berada di atas 50. Indeks PMI Manufaktur tersebut membaik setelah dua bulan sebelumnya terkontraksi. PMI Manufaktur Juli sebesar 40,1 dan Agustus 43,7.
Pada hari yang sama Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan Indeks Harga Konsumen (IHK) justru mengalami deflasi 0,04%. Penurunan harga-harga terutama dipengaruhi deflasi 0,12% pada kelompok makanan, minuman dan rokok yang merupakan salah satu komponen pengeluaran terbesar dalam ekonomi domestik.
Namun, analisis pasar uang Bank Mandiri Rully Arya Wisnubroto menilai deflasi bulan lalu justru menjadi tanda positif. Konsumsi juga tidak sepenuhnya melemah mengingat deflasi hanya terjadi pada komponen harga bergejolak, sementara komponen inti masih inflasi 0,13%.
"Sentimen cukup baik setelah data inflasi menunjukkan deflasi secara bulanan, di tengah banyaknya negara-negara di dunia yang mengalami kenaikan inflasi," kata Rully kepada Katadata.co.id.
Namun sentimen eksternal berupa tapering off juga dinilai masih mendominasi. Ia meramal rupiah akan bergerak melemah dan diperdagangkan di kisaran Rp 14.296 hingga Rp 14.365 per dolar AS.