RUU HPP Disahkan: Skema Multitarif Batal, Tarif PPN Naik Jadi 11-12%
Pemerintah batal memberlakukan skema multitarif yang semula akan diatur dalam Rancangan Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP). Namun, pemerintah akan menaikkan tarif PPN menjadi 11% pada tahun depan dan 12% pada 2025.
Hal ini diatur dalam RUU HPP yang telah disahkan DPR pada hari ini, Kamis (7/10). "Pemerintah memahami aspirasi masyarakat melalui fraksi-fraksi di DPR bahwa penerapan multitarif PPN akan menyebabkan cost of complience dan menimbulkan postensi dispute, maka disepakati sistem PPN tetap menerapkan tarif tunggal," ujar Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 202-2022, Kamis (7/10).
Keputusan ini berubah dari kesepakatan dalam rapat kerja Komisi XI dan Kementerian Keuangan akhir bulan lalu. Dalam pertemuan saat itu, salah satu poin yang disetujui yakni akan diberlakukan skema multitarif.
Berdasarkan BAB tentang PPN dalam draft RUU HPP yang diterima Katadata.co.id, pemerintah juga akan memberlakukan opsi tarif 5%-15%, selain menerapkan tarif umum. Dengan demikian, barang dan jasa tertentu dapat dikenakan tarif lebih besar atau lebih kecil dari tarif umum yang ditetapkan dengan rentan 5%-15%.
Meski skema multitarif batal diterapkan, Yasonna memastikan pemerintah tetap menaikkan tarif PPN. Tarifnya akan dinaikkan secara bertahap, dari saat ini 10% menjadi 11% pada 1 April 2022 dan 12% pada 1 Januari 2025.
"Ini dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat dan dunia usaha yang belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi Covid-19," kata Yasonna.
Yasonna menyebut, keputusan pemerintah untuk tetap menaikkan tarif PPN lantaran tarif yang dikenakan Indonesia saat ini lebih kecil dibanding banyak negara lain di Asia. Ia membandingkan dengan Filipina yang memiliki PPN 12%, Cina 13%, Arab Saudi 15%, Pakistan 17% serta India 18%. Selain itu rata-rata PPN dunia saat ini sebesar 15,4%.
Namun, rencana kenaikan tarif PPN ini menjadi salah satu magnet perdebatan selama perumusan UU HPP ini. Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad menilai kenaikan tarif PPN tidak menjamin mampu mendongkrak penerimaan negara. Pasalnya, efektivitas penerimaan PPN tak melulu bergantung pada besar kecilnya tarif.
"Ini juga bagaimana penguatan basis penerimaan PPN itu sendiri, ambang batasnya," kata Tauhid dalam Dikusi Publik Menakar Untung Rugi RUU HPP yang digelar INDEF, Rabu (6/10).
Tauhid membandingkan tarif PPN Indonesia saat ini dengan empat negara ASEAN lainnya. Meski tarif PPN di Filipina lebih besar yakni mencapai 12%, sumbangannya pada PDB hanya mencapai 2,1%. Sementara sumbangan penerimaan PPN terhadap PDB Indonesia lebih besar yakni 3,5% dengan tarif yang lebih kecil.
Ia juga mengungkit Vietnam dengan tarif PPN sama dengan Indonesia, sumbangan penerimaan PPN mencapai 6,2% terhadap PDB. Penerimaan PPN Thailand dengan tarif hanya 7% mencapai 3,9% ke PDB dan penerimaan PPN Singapura dengan tarif 7%, berkontribusi 2,2% ke PDB.
Di sisi lain, Tauhid menyoroti ambang batas pengusaha kena pajak (PKP) yang berlaku saat ini yakni Rp 4,8 miliar. Ini berarti, pengusaha yang omzetnya di bawah batas ini dibebaskan dari pemberlakuan PPN.
"Ini yang saya kira cukup menjadi trigger. Kenapa (porsi ke PDB) PPN di negara lain, terutama di Thailand itu jauh lebih tinggi meski tarifnya lebih rendah," kata Tauhid.
Ia menjelaskan ambang batas PPN berdasarkan perhitungan Purchasing Power Parity (PPP) Indonesia lebih tinggi dari beberapa negara. Ambang batas PPN Indonesia saat ini US$ 925.119, Singapura US$ 952.381, Filipina US$ 149.626, dan Thailand US$ 138.782.
Meski begitu, ia menyadari bahwa usulan penurunan ambang batas kena PPN berpotensi menuai perdebatan. Jika nilainya diperkecil, maka pengusaha dengan omzet lebih kecil berpotensi harus membayar PPN.
Di sisi lain, Tauhid melihat ada potensi pengusaha dengan omzet besar memanipulasi laporan penerimaan atau melakukan strategi pemecahan unit bisnis. Ini untuk menghindari ambang batas kena PPN Rp 4,8 miliar yang tentu akan merugikan pemerintah.