BUMN Paparkan 4 Faktor Penyebab Membengkaknya Biaya Kereta Cepat Cina
Kereta Cepat Jakarta - Bandung kembali menuai kontroversi karena keterlibatan pemerintah untuk menutup kebutuhan pendanaan proyek yang membengkak tersebut. Pandemi Covid-19 dianggap menjadi penyebab membengkaknya anggaran proyek kereta cepat Indonesia - Cina (KCIC) tersebut.
Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga juga menyebutkan beberapa faktor lain yang membuat anggaran proyek tersebut membengkak. "Masalahnya adalah Corona datang, dan kita ingin pembangunan tepat waktu. Corona datang membuat beberapa hal menjadi terhambat," ujar Arya dalam keterangannya, Sabtu (9/10).
Kedua, terganggunya arus kas alias cash flow para perusahaan BUMN yang menjadi anggota konsorsium KCIC. Perusahaan itu adalah PT Wijaya Karya Tbk (WIKA), PT Kereta Api Indonesia (KAI), PT Jasa Marga Tbk dan PTPN VIII.
Contohnya, KAI dihadapkan pada masalah penurunan penumpang kereta selama pandemi. Alhasil, PT KAI tidak bisa menyetorkan dana sesuai yang direncanakan ke proyek tersebut.
Ketiga Arya juga menjelaskan perkembangan desain dan geografis selama pembangunan proyek turut memicu pembengkakan biaya. Di tengah perjalanan pembangunan terjadi perubahan-perubahan desain karena kondisi geologis dan geografis yang berbeda.
Arya menekankan bahwa hampir semua negara mengalami hal serupa dalam pembangunan kereta cepat, khususnya untuk langkah pertama. Hal tersebut dapat dipastikan membuat pembengkakan biaya proyek kereta cepat.
Keempat, kenaikan harga tanah. "Seiring waktu ada kenaikan-kenaikan, dan itu wajar terjadi, yang membuat pembengkakan dana anggaran," kata Arya.
Berbagai faktor tersebut membuat pemerintah turut turun tangan membantu pembangunan proyek kereta cepat dengan rute perdana Jakarta-Bandung bisa terlaksana dan tepat waktu. Saat ini pelaksanaan dan progres kereta cepat itu hampir 80%.
"Mau tidak mau, supaya kereta cepat berjalan baik, kita pemerintah harus ikut memberikan pendanaan. Di mana semua negara, pemerintahnya ikut campur dalam hal pembiayaan kereta cepat, hampir semua negara," ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengizinkan penggunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai salah satu sumber pendanaan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Restu diberikan di tengah membengkaknya kebutuhan anggaran proyek kerja yang mencapai sekitar US$ 1,9 miliar atau setara Rp 27 triliun.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021 yang diteken Jokowi pada 6 Oktober untuk mengubah Peraturan Nomor 107 Tahun 2015. Dalam pasal 4 Perpres tersebut dijelaskan bahwa pendanaan dalam rangka pelaksanaan penugasan pengerjaan proyek kereta cepat dapat bersumber dari penerbitan obligasi, pinjaman konsorsium, dan pendanaan lain yakni Pembiayaan APBN.
Adapun jejeran konsorsium BUMN yang terlibat, seperti PT Kereta Api Indonesia, PT Wijaya Karya Tbk, PT Jasa Marga Tbk, dan PTPN VIII. Melalui Perpres tersebut, Jokowi juga mengubah pimpinan konsorsium dari Wijaya Karya menjadi KAI.
Penyertaan modal kepada pimpinan konsorsium untuk memperbaiki struktur permodalan dan/atau meningkatkan kapasitas usaha pimpinan konsorsium. Ini dilakukan untuk pemenuhan kekurangan kewajiban penyetoran modal (base equity) perusahaan patungan dan/atau memenuhi kewajiban perusahaan patungan akibat perubahan biaya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Adapun jika terjadi kenaikan biaya, pimpinan konsorsium BUMN dapat mengajukan permohonan dukungan pemerintah kepada Menteri BUMN dengan menyertakan dampak terhadap kelayakan proyek. Menteri BUMN kemudian akan meminta Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan untuk melakukan review secara menyeluruh terhadap perhitungan kenaikan dan dampaknya pada kelayakan proyek. Menteri BUMN kemudian akan menelaah hasil review BPKP dan menyampaikannya pada komite.
Kebutuhan dana untuk proyek kereta cepat Jakarta-Bandung diketahui membengkak (cost overrun), sekitar US$ 1,9 miliar dari estimasi awal US$ 6,1 miliar atau sekitar Rp 87 triliun. Namun dalam rapat dengar pendapat antara Komisi VI DPR dengan PT KAI diketahui, biaya yang dibutuhkan mencapai US$ 8 miliar atau sekitar Rp 114 triliun.
Estimasi kenaikan biaya tersebut berdasarkan perhitungan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), yang merupakan konsorsium pengerjaan proyek tersebut. Kenaikan biaya terbesar berasal dari anggaran untuk engineering, procurement and construction (EPC) yang mencapai US$ 600 juta sampai US$ 1,2 miliar.
Setelah persoalan pembengkakan biaya dan izin amdal (analisis mengenai dampak lingkungan), WIKA sempat dikabarkan mundur sebagai pimpinan proyek dan digantikan PT Kereta Api Indonesia. Beragamnya persoalan itu turut membuat kelanjutan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung semakin dipertanyakan.
Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio mengatakan proyek KCJB seharusnya memang tidak pernah ada dan tidak perlu dilanjutkan. "Proyeknya kan memang tidak visibel. Enggak usah itu dibangun, karena enggak perlu. Butuh puluhan tahun untuk menutupi biayanya," tutur Agus Pambagio, kepada Katadata, Jumat (10/9).
Menurutnya, proyek infrastruktur memang membutuhkan waktu lama untuk menghasilkan keuntungan. Namun, dalam proyek kereta cepat, keuntungan proyek sulit diperoleh. "Meskipun infrastruktur untungnya lama tapi tetap harus dihitung. Terus (kalau sudah bermasalah seperti sekarang), apa mau diterusin? ya enggak juga," tuturnya.
Sementara itu, Arya mengatakan untuk menuju menjadi negara maju yang modern, maka negara membutuhkan kereta cepat. Saat Presiden Jokowi sepakat untuk membangun KCIC, maka Indonesia tengah menuju menjadi negara modern.