Kekhawatiran Omicron Mereda, Rupiah Diramal Menguat Rp 14.420 per US$
Nilai tukar rupiah dibuka menguat 0,16% ke level Rp 14.418 per dolar AS di pasar spot pagi ini. Penguatan didorong membaiknya sentimen pasar usai sejumlah klaim menunjukkan varian baru Covid-19 Omicron memiliki gejala ringan.
Mengutip Bloomberg, rupiah berbalik melemah Rp 14.430 pada pukul 09.15 WIB. Tetapi ini masih jauh dari penutupan kemarin di posisi Rp 14.442 per dolar AS.
Mayoritas mata uang Asia lainnya bergerak bervariasi. Won Korea Selatan menguat 0,05% bersama peso Filipina 00,2%, yuan Cina 0,09%. Pelemahan dialami yen Jepang 0,04%, dolar Singapura 0,06%, dolar Taiwan 0,05%, rupee India 0,34% dan bath Thailand 0,1%. Sedangkan ringgit Malaysia dan dolar Hong Kong stagnan.
Analis pasar uang Ariston Tjendra memperkirakan rupiah bisa berbalik menguat ke arah Rp 14.420, dengan potensi pelemahan di kisaran Rp 14.460 per dolar AS. Rupiah bisa menguat seiring membaiknya sentimen pasar terhadap aset berisiko, ditunjukkan penguatan di pasar saham.
"Indeks saham Eropa dan AS ditutup menguat semalam dan pagi ini sebagian indeks Asia dibuka menguat. Meredanya kekhawatiran pasar terhadap virus Omicron mendorong pelaku pasar masuk kembali ke aset berisiko," kata Ariston kepada Katadata.co.id, Selasa (7/12).
Kekhawatiran pasar yang mulai mereda terutama karena semakin banyak ahli yang mengklaim bahwa varian baru Covid-19 Omicron memiliki gejala ringan, sama halnya dengan temuan Kementerian Kesehatan Singapura. Gejala dari varian ini umumnya berupa batuk, sakit tenggorokan dan kelelahan.
Mengutip Reuters, Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa meneliti 70 kasus positif Omicron. Hasil pemantauan menunjukkan separuh dari mereka tidak memiliki gejala dan sisanya memiliki gejala ringan.
Kendati demikian, hasil penelitian ini juga memperingatkan bahwa butuh data yang lebih banyak lagi untuk menilai lebih komprehensif dan itu membutuhkan waktu berminggu-minggu.
Kendati demikian, Ariston juga mengatakan penguatan mungkin akan terbatas karena pasar masih dibayangi kekhawatiran varian baru ini menular lebih cepat. Selain itu juga kekhawatiran pasar terhadap penyebaran Omicron bisa menimbulkan gelombang baru yang menghambat pemulihan ekonomi dunia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akhir pekan lalu telah mengonfirmasi bahwa varian baur ini sudah terdeteksi di hampir 40 negara dunia hanya dalam waktu sekitar tiga minggu.
"Ada pandangan bahwa Omicron menunjukkan peningkatan penularan, yang perlu kita pahami adalah apakah itu lebih atau kurang menular dibandingkan dengan delta,” kata Kepala bagian Teknis Covid-19 WHO Van Kerkhove seperti dikutip dari CNBC Internasional.
Selain dipengaruhi kekhawatiran varian Omicron, Ariston juga mengatakan tekanan nilai tukar masih dipengaruhi sentimen percepatan tapering off bank sentral AS, The Federal Reserve (Fed).
Tapering berupa pengurangan pembelian aset sudah dimulai dari akhir bulan lalu dan ada usulan untuk dipercepat dengan menggandakan nilai pengurangan pembeliannya. Ini membuka ruang yang lebih lebar bagi Fed untuk bisa menaikkan bunga acuan tahun depan.
"Pasar menantikan data inflasi AS terbaru yang akan dirilis hari Jumat malam. Data yang lebih tinggi dari proyeksi bisa mengukuhkan wacana percepatan tapering dan mendorong penguatan dollar AS," kata Ariston.
Kemudain sentimen lainnya datang dari Cina. Ariston menungkap pasar juga menantikan rilis data neraca perdagangan Cina hari ini. Pasar memperkirakan ekspor Cina bisa surplus lagi untuk periode November, ini bisa menjadi sinyal bahwa permintaan global masih tinggi.