Kemenkeu Beberkan Data-data Penting di Balik Kenaikan Cukai Rokok

Abdul Azis Said
20 Desember 2021, 16:26
rokok, cukai rokok, sri mulyani
ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA
Pemerintah menetapkan kenaikan cukai rokok rata-rata 12% pada tahun depan.

Sindiran Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengatakan konsumsi rokok membebani keuangan negara sontak menjadi sorotan publik. Pernyataan tersebut disampaikannya untuk menjelaskan alasan pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok tahun 2022.

Menanggapi keriuhan publik, Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengklarifikasi bahwa pernyataan tersebut tidak bermaksud mendiskriminasi perokok. Ia mengatakan pernyataan tersebut disampaikan bersama dengan sejumlah data yang penting diketahui publik.

"Tak tebersit sedikit pun niat dan memang tak ada maksud mendiskriminasi perokok. Yang dibahas Menteri Keuangan adalah konsumsi rokok dan berbagai data yang menunjukkan fakta lapangan yang perlu perhatian semua pihak," kata Prastowo dalam cuitannya di akun twitter pribadinya @prastow, Senin (20/12).

Dia menjelaskan bahwa yang dimaksud Sri Mulyani merupakan konsumsi rokok secara umum, tidak secara spesifik menyebut subyek atau perokok yang membebani negara dari sisi anggaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

"Jadi cukup jelas, rekam jejak Menkeu Sri Mulyani tidak pernah secara personal maupun institusional do harm ke industri maupun perokok. Merokok adalah hak setiap orang, tapi pemerintah punya tanggung jawab melakukan edukasi dan pengendalikan untuk kebaikan bersama," ujar Prastowo.

Dia mengatakan, Sri Mulyani mencoba memaparkan sejumlah data yang menunjukkan dampak negatif dari konsumsi rokok. Dari sisi prevalensi merokok anak, data memang menunjukkan penurunan tetapi presentasenya masih cukup tinggi. Prevalensi anak usia 10-18 tahun yang merokok di Indonesia pada 2021 sebesar 9%, tidak berubah dari tahun lalu.

Prevalensi merokok laki-laki dewasa juga besar, yakni mencapai 71,3%. Indonesia berada di peringkat pertama untuk kategori ini. Prevalensi perokok dewasa total sebesar 37,6%, tertinggi kelima di dunia.

"Tentu ini masalah serius. Berbagai riset dan kajian menunjukkan kerugian yang timbul akibat tingginya konsumsi rokok, baik segi kesehatan maupun ekonomi masyarakat," kata Prastowo.

Sementara dari sisi ekonomi, Prastowo mengatakan survei BPS pada Maret 2021 menunjukkan bahwa rokok menjadi pengeluaran terbesar kedua di bawah beras bagi masyarakat miskin. Pengeluaran untuk membeli rokok lebih tinggi dibandingkan untuk protein seperti telur, tempe atau ikan.

Ia menyebut, Sri Mulyani telah mengutip sejumlah hasil riset soal dampak merokok terhadap kesehatan. Data tersebut antara lain, risiko stunting 5,5% lebih tinggi bagi anak dari keluarga perokok, perokok juga berisiko 14 kali terinfeksi Covid-19 dan 2,4 kali berpotensi mengalami gejala Covid-19 yang berat.

Konsumsi rokok menyebabkan beban JKN dan biaya ekonomi yang besar. Biaya kesehatan akibat merokok sebesar Rp 17,9 triliun-Rp 27,7 triliun. Dari biaya tersebut, terdapat Rp 10,5 triliun-Rp 15,6 triliun yang diambil dari BPJS kesehatan. Ini setara 20-30% dari subsidi PBI JKN per tahun sebesar Rp 48,8 triliun.

Pemerintah pun memutuskan kembali menaikkan tarif cukai rokok rata-rata 12% pada tahun depan. lebih kecil dari kenaikan tarif 12,5% pada tahun ini dan 23% pada tahun lalu.

"Kebijakan cukai, termasuk CHT, adalah instrumen pemerintah untuk pengendalian. Kenapa dikendalikan? karena disepakati ada dampak negatif atas konsumsi barang tersebut. Maka cukai dari sananya sudah diskriminatif, meski pemerintah selalu berupaya mempertimbangkan berbagai aspek," kata Prastowo.

Ia mengatakan, kesehatan menjadi aspek prioritas CHT. Aspek lainnya yang juga dipertimbangkan terkait ketenagakerjaan, keberlanjutan industri dan pertanian. Ia menekankan penerimaan negara bukan prioritas pemerintah atas kebijakan cukai. Penerimaan hanya konsekuensi dari pungutan, yang pada akhirnya juga dipakai untuk mengurangi dampak negatif rokok.

Pemerintah memiliki Dana Bagi Hasil (DBH) rokok yang dibagikan ke daerah. Sebanyak 50% DBH tersebut digunakan untuk kesejahteraan masyarakat, 25% untuk kesehatan dan 25% untuk penegakan hukum.

Meski pemerintah tak menjadikan penerimaan negara dalam prioritas penetapan kebijakan, penerimaan dari cukai mencapai Rp 143,78 triliun. Kontribusinya terhadap penerimaan negara  mencapai 11,26%. Sementara pada tahun depan, penerimaan negara dari cukai ditargetkan Rp 193 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya membeberkan data yang sudah dijelaskan Prastowo sebelumnya, bahwa biaya kesehatan akibat merokok menyerap 20-30% dari subsidi pemerintah atas JKN.

Selain itu, ia juga mengutip hasil riset dari Komnas Pengendalian tembakau (Komnas PT), Center for Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI) dan Universitas Indonesia, mayoritas perokok tidak mengurangi konsumsi sekalipun pandemi memukul perekonomian sebagian besar masyarakat. Riset juga menunjukkan beberapa perokok bahkan menunjukkan kenaikan konsumsi.

Riset lain juga menunjukkan bahwa perekok cenderung punya potensi terinfeksi virus Corona 14 kali lebih tinggi dari yang bukan perokok. Selain itu, bagi perokok yang sudah terinfeksi Covid-19 juga memiliki risiko 2,4 kali lebih tinggi untuk mengalami gejala infeksi berat dan memiliki prognosis buruk.

"Kondisi ini berarti akan membebani karena seluruh penderita Covid-19 ditanggung oleh negara," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers Kebijakan CHT 2022 secara virtual, Senin (13/12).

Kenauikan cukai rokok akan berdampak pada harga jual eceran rokok pada tahun depan, seperti terlihat dalam databoks di bawah ini. 

Reporter: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...