Bank Dunia Minta G20 dan Cina Percepat Keringanan Utang Negara Miskin
Bank Dunia meminta negara-negara anggota kelompok 20 ekonomi terbesar dunia atau G20 untuk mempercepat bantuan keringanan utang kepada negara miskin. Hal ini terutama berlaku bagi Cina yang merupakan kreditur terbesar dunia.
Tekanan pandemi yang mendorong resesi global pada tahun 2020 mendorong 60% dari negara berpenghasilan rendah berisiko tinggi menghadapi kesulitan pembayaran utang. Bank Dunia juga mencatat, tingkat utang di negara berkembang dan emerging market (EM) telah meningkat pada laju tercepat dalam tiga dekade.
Presiden Bank Dunia David Malpass mengatakan pada tahun ini, negara-negara termiskin akan menghadapi utang jatuh tempo sebesar US$ 35 miliar atau setara Rp Rp 500 triliun (kurs Rp 14.300 per US$). Adapun 40% dari utang jatuh tempo tersebut berasal dari Cina setelah fasilitas penundaan pembayaran utang berakhir tahun lalu.
"Risiko dari default terus tumbuh, pengetatan kebijakan moneter di negara maju akan memiliki efek riak," kata Malpas dikutip dari Reuters Jumat (14/1).
Oleh karena itu, Malpass kembali mengingatkan negara-negara dunia untuk mereformasi kerangka kerja yang sudah diluncurkan negara-negara G20 dan Klub Paris, kelompok negara kreditur utama dunia. Kerangka kerja tersebut di bawah program Inisiatif Penangguhan Layanan Utang (DSSI) milik Bank Dunia.
Adapun insiatif ini bertujuan memberikan keringanan utang melalui perpanjangan jatuh tempo dan pengurangan suku bunga bagi negara yang memenuhi syarat. Kendati demikian, Malpas menilai kinerjanya masih lamban.
"Pengurangan utang yang dalam sangat dibutuhkan untuk negara-negara miskin. Jika kita menunggu terlalu lama, itu akan terlambat," kata Malpass.
Menurut Malpass, kerja cepat diperlukan untuk segera merestrukturisasi utang negara miskin. Ia mengatakan sejauh ini baru tiga negara yang sudah meminta bantuan restrukturisasi utang melalui DSSI, termasuk Chad pada tahun lalu. Kendati demikian, menurutnya, ada banyak negara lain sebetulnya juga membutuhkan bantuan serupa.
Dia mendesak presidensi G20 Indonesia untuk kembali membahas persoalan ini dan optimistis bisa mencapai tujuan tersebut. Bank Dunia juga telah berbicara dengan pemerintah China untuk mendukung inisiatif tersebut. Selain itu, minat investasi ke negara-negara seperti Chad, Zambia dan Sri Lanka tampaknya akan meningkat jika struktur utang mereka bisa lebih stabil.
Oleh karena itu, ia juga memberikan catatan bahwa negara-negara debitur juga perlu menopang kerangka fiskal dan meningkatkan transparansi utangnya.
Risiko utang memang meningkat terutama sejak memasuki tahun pandemi 2020. World Economic Forum (WEF) dalam laporan terbarunya juga memperingatkan sejumlah negara akan menghadapi krisis utang sebagai risiko utamanya dalam 10 tahun mendatang.
WEF memasukkan risiko ini sebagai salah satu dari 10 risiko paling parah yang akan dihadapi dunia dalam 10 tahun mendatang. Krisis utang ada di urutan kesembilan, di atas risiko konfrontasi geoekonomi.
Negara-negara yang diperingatkan menghadapi krisis utang sebagai risiko utamanya seperti Indonesia, Kanada, Chad, Republik Ceko, Italia, Yordania, Pakistan, Tanzania dan Thailand.
Laporan itu juga memperkirakan risiko peningkatan utang global akan mencapai titik puncaknya dalam tiga atau lima tahun mendatang. Laporan menunjukkan, stimulus pemerintah sangat penting untuk melindungi pendapatan, mempertahankan pekerjaan, dan menjaga agar dunia usaha tetap berjalan.