Krisis Utang Dunia Terancam Memburuk Jika The Fed Naikkan Suku Bunga

Abdul Azis Said
25 Januari 2022, 08:31
suku bunga, fed, bank sentral, krisis utang, utang
Pixabay/Gerd Altmann
Ilustrasi mata uang dolar.

Rencana bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (Fed), dan bank sentral negara maju lainnya menaikkan suku bunga berisiko buruk terhadap krisis utang negara-negara di dunia. Risiko yang lebih buruk akan dirasakan negara berkembang.

Dalam sebuah laporan dari lembaga non-profit asal Inggris, Jubilee Debt Campaign, beban pembayaran utang negara berkembang meningkat 120% antara tahun 2010 dan 2021, dan saat ini berada pada level tertinggi sejak 2001.

Porsi rata-rata pendapatan pemerintah negara berkembang yang digunakan untuk pembayaran utang luar negeri meningkat dari 6,8% pada tahun 2010 menjadi 14,3% pada 2021. Beban pembayaran utang terutama melonjak pada tahun pertama pandemi atau 2020.

“Krisis utang telah melucuti sumber daya yang diperlukan negara-negara untuk mengatasi keadaan darurat iklim dan dampak lanjutan dari Covid-19. Kenaikan suku bunga akan menenggelamkan negara-negara ke dalam utang yang lebih besar,” kata Direktur Eksekutif Jubilee Debt Campaign Heidi Chow dikutip dari CNBC.com, Senin (24/1).

Jubilee mencatat 54 negara saat ini menghadapi krisis utang. Adapun sebuah negara dikatakan mengalami krisis utang jika pembayaran utangnya menghambat kemampuan pemerintah untuk melindungi hak-hak ekonomi dan sosial warga negaranya.

Lebih lanjut, terdapat 14 negara yang diidentifikasi berada pada risiko krisis utang baik utang publik maupun swasta. Ada 22 negara dalam bahaya krisis utang sektor swasta semata dan 21 krisis utang sektor publik. Simak databoks berikut:

Dalam catatan Jubilee, dari semua pembayaran utang luar negeri pemerintah negara berpenghasilan menengah bawah dan rendah yang terutang pada tahun 2022, mayoritas pembayaran kepada kreditur swasta sebanyak 47%. Sisanya yaitu 27% kepada lembaga multilateral, 12% kepada Cina dan 14% kepada pemerintah negara lainnya.

Peningkatan tajam dalam pembayaran utang menghambat pemulihan ekonomi negara-negara dari pandemi. Belum lagi dengan rencana kenaikan suku bunga AS dan global pada tahun 2022 dapat memperburuk masalah bagi banyak negara berpenghasilan rendah.

"Krisis utang terus melanda negara-negara berpenghasilan rendah tanpa akhir yang terlihat, kecuali ada tindakan mendesak untuk pengurangan utang," kata Chow.

Karena itu, Chow juga mendesak kelompok 20 negara ekonomi terbesar dunia (G20) untuk tidak mengabaikan risiko ini. Menurutnya, negara-negara dunia sangat membutuhkan skema pembatalan utang yang lebih komprehensif dan mendesak kreditur swasta untuk terlibat dalam program keringanan utang.

Bos Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva juga sempat memperingatkan hal serupa. Dia mengatakan kenaikan suku bunga Fed seperti halnya 'menuangkan air dingin' terhadap pemulihan ekonomi yang masih lemah di sejumlah negara. Kenaikan suku bunga bisa menyebabkan negara-negara debitur menjadi lebih mahal untuk membayar utangnya, terutama utang dalam bentuk dolar AS.

Adapun rencana kenaikan suku bunga Fed sudah mulai terdengar sejak sebulan terakhir. Ini terutama usai Fed mengumumkan rencana mempercepat tapering off pada pertemuan Desember, sehingga bisa di akhir bulan Maret. Dengan demikian pasar mulai bertaruh kenaikan bunga acuan akan dimulai lebih cepat.

Komite pasar terbuka federal (FOMC) akan kembali mengadakan pertemuan minggu ini untuk memutuskan rencana pengetatan kebijakan moneter sebagai respon terhadap inflasi yang kini telah mencapai rekor tertingginya dalam 40 tahun.

Beberapa analis memperkirakan bank sentral akan menaikkan suku bunga empat kali lipat tahun ini dari posisi terendah era pandemi.

Reporter: Abdul Azis Said

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...