BI Ramal The Fed Naikkan Bunga 4 Kali, Bagaimana Dampak ke Rupiah?
Bank Indonesia memperkirakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve akan menaikkan Suku Bunga acuannya sebanyak empat kali pada tahun ini. Kebijakan The Fed akan memberikan dampak kepada Indonesia, salah satunya pada nilai tukar rupiah.
"Kami masih mempertahankan prediksi kenaikan suku bunga The Fed hingga empat kali pada tahun ini dan akan dimulai pada Maret," ujar Perry dalam Konferensi Pers Rapat Dewan Gubernur BI, Kamis (11/2).
Perry mengatakan, perkiraaan tersebut berdasarkan pertimbangan atas asesmen kebijakan The Fed yang dilakukan BI. Adapun pasar memperkirakan kenaikan bunga acuan The Fed dapat mencapai lima kali pada tahun ini.
"Maret kemungkinan naik 25 bps atau bisa saja 50 bps, kemudian Juni, dan September," kata dia.
Ia menilai dampak dari rencakan kenaikan bunga AS sudah terlihat di pasar, yakni kenaikan umbal hasil atau yield surat berharga Amerika Serikat benchmark Treasury 10-tahun yang telah naik menuju 1,9%. Adapun tadi malam imbal hasil obligasi pemerintah AS tersebut telah menyentuh 2%, tertinggi sejak Agustus 2019 akibat data inflasi AS pada Januari yang mencapai 7,5%.
Lantas bagaimana dampaknya terhadap Indonesia?
Perry menjelaskan, kondisi ini akan memengaruhi aliran modal asing terutama ke pasar surat berharga negara. Sementara arus modal asing ke pasar saham saat ini masih meningkat.
Meski demikian, menurut Perry, kurs rupiah tetap akan terkendali. "Meski yield obligasi pemerintah AS naik, dolar AS dari waktu ke waktu justru melemah dan ini mendukung stabilitas rupiah di tengah kenaikan tensi politik," kata Perry.
Ia mengatakan, kurs rupiah secara fundamental didukung defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) pada tahun lalu yang terkendali pada kisaran 1,1% dan surplus neraca pembayaran yang masih besar.
"Ini memberikan suatu assessment bahwa meski suku bunga AS dan US treasury meningkat, dampak ke rupiah dan yield SBN relatif terkendali. BI akan memastikan rupiah stabil mendukung stabilisas moneter dan pemulihan nasional," ujar Perry.
Ekonom Universitas Indonesia Chatib Basri sebelumnya menyebut, ada tiga pilihan kebijakan yang sebenarnya dapat dilakukan pemerintah dan BI untuk merespons kenaikan The Fund Rate (FFR).
"Pemerintah dan BI punya tiga pilihan; membiarkan rupiah terdepresiasi, Bank Indonesia menaikkan suku bunga, atau pemerintah memperketat kebijakan," ujar Chatib Basri dalam Mandiri Investment Forum 2022, Rabu (21/2).
Ia menjelaskan, tak mudah bagi BI menaikkan suku bunga dalam kondisi saat ini. Inflasi masih rendah di kisaran 3% dan ekonomi belum sepenuhnya pulih. "Mungkin tahun depan, ada kemungkinan BI menaikkan suku bunga, tetapi saya rasa tidak tahun ini," katanya.
Menurut Chatib, kenaikan suku bunga BI akan menimbulkan biaya ekonomi yang mahal jika diterapkan pada tahun ini. Kebijakan ini dapat menahan pemulihan ekonomi.
Di sisi lain, menurut dia, pemerintah kemungkinan tidak akan memperketat fiskal pada tahun ini meski defisit APBN pada tahun depan ditargetkan kembali berada di bawah 3% terhadap produk domestik bruto (PDB). "Bu Menkeu (Menteri Keuangan Sri Mulyani) sudah bilang, dia akan terus mendukung pemulihan ekonomi," ujarnya.
Oleh karena itu, Chatib menilai, opsi paling ideal untuk merespons kenaikan suku bunga The Fed adalah membiarkan rupiah terdepresiasi atau melemah. "Ini sebenarnya apa yang sebenarnya terjadi, mengapa rupiah melemah dari Rp 14 ribu per dolar AS menjadi Rp 14.400 per dolar AS," kata dia.
Selain itu, salah satu kebijakan yang paling mungkin ditempuh BI adalah memperketat kebijakan makroprudensial. Hal ini telah ditempuh BI dengan menerapkan kenaikan giro wajib minimum (GWM) perbankan secara bertahap mulai bulan depan.
"Jadi kebijakan BI saat ini juga bukan menahan rupiah pada level tertentu, tetapi menjaga volatilitas dan arus modal asing," kata dia.
Meski demikian, Chatib memperkirakan pelemahan rupiah tak akan seburuk seperti periode kenaikan suku bunga AS pada 2013. Dua faktor utama yang mendukung adalah porsi kepemilikan asing di surat berharga negara yang kini hanya mencapai 19% dan defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) yang rendah.