Ambisi Cina Capai Nol Emisi Karbon Mengancam Sektor Keuangan Indonesia
Pemerintah khawatir ambisi Cina mereformasi perekonomiannya menuju ekonomi rendah karbon berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan langkah Cina ini menjadi salah satu risiko ekonomi yang akan dihadapi Indonesia tahun ini hingga 2023.
Suharso mengatakan, Cina saat ini berambisi mempercepat proses transisi energi. Negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu menargetkan netralitas karbon dapat dicapai sebelum 2060. Proses transisi ini, menurut dia, berisiko menimbulkan efek ke ekonomi, khususnya di sektor keuangan.
"Transisi ini pada saat yang sama tentu akan menimbulkan risiko pada keuangan. Perusahaan-perusahaan yang masih padat karbon tentu akan terganggu profitabilitasnya dan juga akan menghadapi kerentanan likuiditas," kata Suharso dalam Diskusi Publik Forum Masyarakat Statistik (FMS): Kinerja Pertumbuhan Ekonomi di Masa Pandemi, Senin (21/2).
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI akhir bulan lalu juga sempat mengantisipasi risiko serupa. Langkah Cina melakukan switching policy alias perubahan kebijakan menuju pertumbuhan yang lebih berkualitas dan menuju ekonomi hijau akan memiliki imbas ke perekonomian di seluruh dunia.
Mengutip climateactiontracker.org, Cina berjanji mengurangi 65% emisinya dari level tahun 2005 pada tahun 2030. Di sisi lain, penggunaan bahan bakar non-fosil dalam konsumsi energi primernya akan dinaikan menjadi 25%.
Kekhawatiran terhadap gangguan di perekonomian Cina tak hanya datang dari rencana perubahan struktur ekonominya menuju rendah karbon tetapi juga perlambatan ekonomi yang terjadi di negara itu.
Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Abdurohman mengatakan, pemulihan ekonomi Cina menghadapi tekanan yang semakin berat, ditandai dengan mulai melambatnya pertumbuhan ekonomi pada kuartal terakhir tahun lalu. Ekonomi Cina sepanjang Oktober-Desember hanya tumbuh 4%, menunjukkan tren penurunan sejak mencapai 8,3% pada kuartal pertama 2021.
"Pada dasarnya salah satu faktor yang menurunkan kinerja ekonomi Cina adalah persoalan di sektor konstruksi dan real estate yang mengalami kontraksi cukup dalam sehingga menyeret ekonomi Cina ke bawah," kata Abdurohman dalam acara yang sama dengan Suharso.
Beberapa indikator dini, seperti Li Keqiang Index turun ke 5,7 poin pada Desember 2021. Ini merupakan level terendah sepanjang tahun lalu. Li Keqiang Index merupakan alternatif indikator untuk melihat kinerja ekonomi Cina secara lebih riil. Adapun indeks ini menggunakan tiga variabel, yakni pinjaman bank, konsumsi listrik dan angkutan barang kereta api.
Selain itu, indikator lainya seperti harga hunian Cina juga tumbuh melambat dengan pertumbuhan hanya 1,98% secara tahunan pada Desember 2021, terendah sepanjang tahun lalu. Sektor real estate yang terpukul pada tahun lalu melanjutkan pelemahan dengan kontraksi 2,9% pada kuartal terakhir tahun lalu bersama dengan kontraksi 2,1% pada sektor konstruksi.