Rupiah Loyo ke Rp 14.369/US$ Imbas Sinyal Pengetatan Moneter The Fed
Nilai tukar rupiah dibuka melemah 18 poin ke level Rp 14.366 per dolar AS di pasar spot pagi ini, Rabu (6/4). Pelemahan rupiah terpengaruh pernyataan pejabat bank sentral Amerika Serikat (Federal Reserves/The Fed) semalam yang memberi sinyal pengetatan moneter akan lebih agresif.
Mengutip Bloomberg, rupiah melanjutkan pelemahan ke Rp 14.369 pada pukul 09.20 WIB. Ini semakin jauh dari posisi penutupan kemarin di Rp 14.348 per dolar AS.
Mayoritas mata uang Asia lainnya melemah terhadap dolar AS pagi ini. Depresiasi terdalam dialami won Korea Selatan sebesar 0,73%, disusul peso Filipina 0,41%, dolar Taiwan 0,40%, yen Jepang 0,32%, ringgit Malaysia 0,22%, bath Thailand 0,19%, yuan Cina 0,15%, dolar Singapura 0,13% dan dolar Hong Kong 0,04%. Sebaliknya, rupee India satu-satunya yang menguat sebesar 0,28%.
Analis pasar uang Ariston Tjendra memperkirakan rupiah akan melemah pada perdagangan hari ini karena meningkatnya sentimen pengetatan moneter The Fed. Rupiah diramal melemah ke arah Rp 14.380, dengan potensi support di kisaran Rp 14.330 per dolar AS.
"Rupiah mungkin akan melemah dengan motor utama sentimen kebijakan pengetatan moneter yang agresif dari The Fed," kata Ariston, Rabu (6/4).
Mengutip CNBC Internasional, salah seorang petinggi The Fed Lael Brainard semalam mengomentari kenaikan inflasi AS yang kini menyentuh rekor tertingginya dalam 40 tahun. Ia mengatakan inflasi tinggi perlu direspon dengan kebijakan pengetatan moneter yang lebih agresif.
Bukan hanya kenaikan bunga, The Fed disebut juga perlu mempercepat pengurangan neracanya dengan penjualan aset yang dipegang. Pasar memperkirakan The Fed akan mulai mengumumkan pengurangan asetnya pada pertemuan Mei, bersamaan dengan pengumuman kenaikan kedua bunga acuan yang menurut beberapa perkiraan bisa mencapai 50 bps. Untuk diketahui, Brainard selama ini terkenal sebagai salah satu petinggi The Fed yang mendukung kebijakan moneter longgar dan suku bunga rendah.
"Mengingat bahwa pemulihan telah jauh lebih kuat dan lebih cepat daripada siklus sebelumnya, saya memperkirakan neraca menyusut jauh lebih cepat daripada pemulihan sebelumnya," ujarnya, Selasa (5/4).
Pernyataan Brainard tersebut berdampak pada kenaikan imbal hasil alias yield US Treasury ke atas 2,55%. Pagi ini, yield sudah bergerak lebih tinggi lagi di kisaran 2,6%.
"Kenaikan yield ini menunjukkan naiknya ekspektasi pasar terhadap kebijakan pengetatan moneter AS yang agresif," kata Ariston.
Tekanan rupiah akan diperberat oleh kekhawatiran pasar terhadap dampak perang Rusia dan Ukraina. Invasi yang masih berlangsung meningkatkan risiko kenaikan inflasi lebih lanjut. Kondisi ini menekan aset berisiko termasuk rupiah.
Meski demikian, rupiah juga berpeluang tidak jatuh terlalu dalam berkat optimisme pemulihan ekonomi domestik. Keyakinan ini salah satunya ditunjukkan dengan kinerja pasar saham RI yang moncer belakangan ini.
Bank sentral Amerika (The Fed) diperkirakan segera menaikkan suku bunga acuannya yang saat ini berada di level 0,25%-0,5%. Laju inflasi yang terus naik menjadi alasan utama The Fed akan segera mengerek suku bunga acuannya.