Kas Pertamina Berpotensi Defisit Rp 191 T Jika Tak Ditambal Pemerintah

Abdul Azis Said
19 Mei 2022, 17:53
pertamina, subsidi, harga BBM, keuangan pertamina, PLN, tarif listri
ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/YU
Ilustrasi. Pemerintah menyebut sebagian besar harga keekonomian produk yang dijual Pertamina berada di atas harga jual ecerannya.

Arus kas operasional PT Pertamina mencatatkan negatif US$ 2,44 miliar pada akhir Maret lalu akibat kenaikan harga minyak mentah Indonesia (ICP). Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan defisit tersebut dapat membengkak hingga mencapai US$ 12,98 miliar atau setara Rp 191 triliun (Rp 14.719/US$) jika tidak ada tambahan penerimaan dari pemerintah hingga akhir tahun ini.

Bendahara negara itu mengatakan, Pertamina saat ini harus menanggung selisih antara Harga Jual Eceran (HJE) dengan harga keekonomian BBM yang terus menanjak. Ia mencontohkan, harga HJE minyak tanah saat ini sebesar Rp 2.500 per liter, sementara harga keekonomiannya mencapai Rp 10.198 per liter dengan harga ICP US$ 100 per barel. Selisih yang sangat besar juga terlihat pada barang yang disubsidi lainya seperti solar, LPG dan pertalite. Harga keekonomian keempat barang tersebut juga sudah jauh dari yang diasumsikan dalam APBN.

"Maka tidak heran, arus kas operasional Pertamina semenjak Januari costnya negatif karena harus menanggung perbedaan antara harga keekonomian dna HJE, kalau harus impor bahan bakar maka dia juga membuatnya dalam bentuk dolar, ini yg menyebabkan kondisi keuangan Pertamina menurun," kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Badan Anggaran  DPR RI, Kamis (19/5).

Ia menyebut, seluruh rasio keuangan Pertamina mengalami pemburukan yang signifikan sejak awal 2022. Hal ini, menurut dia, berisiko menurunkan peringkat kredit perusahaan dan berdampak pada peringkat kredit pemerintah.

Kenaikan harga ICP ini bukan hanya berdampak negatif pada Pertamina, tetapi juga PLN yang menanggung perbedaan pada harga listrik. Harga keekonomian listrik untuk semua golongan sudah jauh di atas tarif listrik yang berlaku. Jika tidak ada tambahan kompensasi dari pemerintah, maka defisit pada arus keuangan PLN juga akan melebar.

"Untuk PLN kita lihat dari mulai yang dihitung oleh APBN dari sisi alokasi subsidi dan realisasi harga keekonomian listrik, maka defisit ini diperkirkaan Rp 71,1 triliun," kata Sri Mulyani.

Defisit yang makin besar tentu merugikan kondisi keuangan perusahaan. Sri Mulyani menyebut, PLN sudah menarik pinjaman hingga Rp 11,4 triliun hingga 30 April 2022 dan diperkirakan masih akan berlanjut hingga bulan depan. Ia memperkirakan penarikan pinjaman perusahaan mencapai Rp 21,7 triliun hingga Rp 24,7 triliun pada tahun ini.

Dengan meningkatnya beban yang harus ditanggung dua BUMN tersebut, Sri Mulyani menyebut pihaknya berkomitmen untuk terus menjaga pasokan dan harga barang-barang yang disubsidi pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah juga memutuskan untuk menambah belanja subsidi dan kompensasi energi tahun ini sebesar Rp 349,9 triliun. 

Pemerintah menaikkan belanja subsidi energi Rp 74,9 triliun terutama untuk subsidi BBM dan LPG sebesar Rp 71,8 triliun dan subsidi listrik Rp 3,1 triliun. Belanja kompensasi juga membengkak dari rencana semula Rp 18,5 triliun menjadi Rp 234,6 triliun. Penambahan biaya kompensasi terutama kepada Pertamina untuk solar dan pertalite yang mencapai Rp 194,7 triliun dan kompensasi listrik ke PLN sebesar Rp 21,4 triliun.

Selain itu, pemerintah berencana menaikkan tarif listrik secara terbatas pada pelanggan golongan 3.000 VA ke atas yang didominasi masyarakat menengah atas dan industri.

Reporter: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...