Orang Kaya RI Kembali Pelesir ke Luar Negeri, Ini Efek ke Ekonomi
Pandemi Covid-19 yang kian terkendali dan pelonggaran pembatasan di banyak negara mendorong masyarakat kembali melakukan aktivitas perjalanan ke luar negeri. Menteri Keuangan Sri Mulyani, mengatakan, hal ini akan turut mempengaruhi perekonomian Indonesia pada tahun depan, terutama dari sisi neraca transaksi berjalan.
"Neraca jasa-jasa diperkirakan kembali akan mengalami tekanan sejalan dengan meningkatnya perjalanan ke luar negeri, terutama kelompok menengah kaya," ujar Sri Mulyani dalam Sidang Paripurna, Selasa (31/5).
Sri Mulyani menjelaskan, tekanan pada neraca jasa akan memberikan pengaruh pada neraca transaksi berjalan yang sejak pandemi Covid-19 justru mencatatkan surplus.
Defisit pada neraca transaksi berjalan sempat menjadi masalah yang dihadapi Indonesia sepanjang 2012 hingga 2019. Puncaknya, neraca transaksi berjalan mencatatkan defisit terbesar pada 2018 mencapai US$ 31,1 miliar. Pada 2019, Presiden Joko Widodo secara khusus berjanji akan menuntaskan masalah ini dalam empat tahun ke depan, antara lain dengan menekan impor.
Namun tak sampai empat tahun, janji Jokowi tuntas. Neraca transaksi berjalan kembali surplus pada kuartal ketiga 2020. Surplus transaksi saat itu ditopang oleh ekspor yang masih baik di tengah impor yang lesu akibat melempemnya aktivitas ekonomi yang terpengaruh pandemi.
Neraca transaksi berjalan atau current account mencakup perdagangan barang dan jasa, penghasilan, serta transfer berjalan. Sementara neraca pembayaran mencakup neraca transaksi berjalan serta neraca modal dan finansial.
Adapun neraca transaksi berjalan merupakan bagian dari neraca pembayaran. Selain neraca transaksi berjalan, neraca pembayaran juga terdiri dari neraca modal dan finansial.
Defisit neraca transaksi berjalan sebenarnya tidak mendatangkan masalah sepanjang ditopang oleh surplus pada modal dan finansial. Namun, masalah muncul saat terjadi arus modal asing keluar ketika defisit neraca transaksi berjalan tinggi yang menyebabkan defisit besar pada neraca pembayaran seperti yang terjadi pada 2018 sebesar US$ 7,1 miliar.
Defisit pada neraca pembayaran menjadi salah satu penyebab rupiah pada tahun yang sama melemah hingga 5,7%.
Sri Mulyani mengatakan, transaksi neraca pembayaran pada tahun depan juga akan terpengaruh oleh pengetatan kebijakan moneter Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve. Kenaikan bunga The Fed berpotensi menciptakan gejolak di pasar keuangan global dan mendorong arus modal asing keluar dari negara berkembang, termasuk Indonesia.
Bank Indonesia mencatat neraca pembayaran Indonesia defisit US$ 1,8 miliar pada kuartal pertama tahun ini, membengkak dibandingkan kuartal sebelumnya US$ 0,8 miliar. Hal ini terutama terjadi karena transaksi modal dan finansial yang mencatatkan defisit US$ 1,7 miliar meski neraca transaksi berjalan kembali surplus US$ 0,2 miliar.
Sementara itu, IMF memproyeksikan Indonesia akan membukukan surplus transaksi berjalan yang semakin besar pada tahun 2022 di tengah lonjakan harga komoditas dunia.