BI Waspadai Ekonomi Indonesia Terpapar Risiko Stagflasi Dunia
Bank Indonesia (BI) mewaspadai risiko stagflasi di berbagai negara dunia bisa berdampak terhadap perekonomian Indonesia. Di tengah kekhawatiran, lembaga rating masih cukup percaya dengan kondisi perekonomian RI.
"Kami memang juga melihat bahwa risiko stagflasi global memang itu tentu masih akan membayangi perekonomian kita ke depan," kata Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Senin (27/6).
Ia menyebut situasi ekonomi global masih sangat dinamis. Namun, ia menyebut asesmen terbaru yang dikeluarkan oleh lembaga rating S&P menaikkan outlook ekonomi Indonesia dari negatif menjadi stabil.
Inflasi Indonesia tahun ini diperkirakan memang akan melampaui target 4,2%. Meski begitu, tahun depan diperkirakan inflasi akan melandai kembali ke range target 2%-4%. "Kami akan terus waspadai tekanan inflasi ke depan khususnya dari volatile food dan dampak pada ekspektasi inflasi," kata Destry.
Lebih lanjut, ia juga menyebut pihaknya akan mengambil langkah maksimal dengan berbagai kebijakan yang dimiliki untuk menekan inflasi. "Termasuk penyesuaian suku bunga apabila ada tanda-tanda kenaikan inflasi ini," kata Destry.
Dalam pertemuan pembuat kebijakannya pekan lalu, BI memangkas proyeksi pertumbuhan global pada tahun ini dari 3,4% menjadi 3%. Bank Sentral juga mewaspadai risiko stagflasi atau kondisi stagnasi ekonomi bersamaan dengan inflasi tinggi yang kemungkinan akan dihadapi banyak negara, termasuk Amerika Serikat.
"Bacaan kami, berlanjutnya eskalasi geopolitik, kenaikan suku bunga The Fed dan negara lainnya, serta kebijakan zero Covid-19 di Cina menimbulkan risiko pertumbuhan ekonomi global turun menjadi 3%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers daring, Kamis (23/6).
Perry menilai risiko stagflasi didorong oleh tiga faktor, sebagai berikut.
1. Perang Rusia di Ukraina dan berlanjutnya sanksi oleh barat terhadap Rusia telah mengganggu pasokan energi dan pangan global. Gangguan ini yang kemudian menyebabkan tingginya harga-harga komoditas, baik energi maupun pangan.
2. Pengetatan moneter di AS dan sejumlah negara maju.
3. Kebijakan zero Covid-19 di Cina juga menimbulkan risiko perlambatan ekonomi terbesar kedua dunia itu.
Sekalipun proyeksi perekonomian global dikoreksi ke bawah di tengah risiko stagflasi, BI tidak merubah perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini dari prediksi sebelumnya 4,5%-5,3%. Perekonomian masih akan bergeliat ditopang peningkatan konsumsi dan kinerja ekspor yang masih akan moncer.