Fitch Pertahankan Peringkat Layak Investasi RI, Efek Rasio Utang Kecil
Lembaga pemeringkat internasional, Fitch kembali mempertahankan peringkat utang luar negeri atau Sovereign Credit Rating Republik Indonesia pada BBB (investment grade) dengan outlook stabil, pada 28 Juni 2022. Fitch sebelumnya mempertahankan Sovereign Credit Rating Indonesia pada BBB dengan prospek stabil pada 22 November 2021 lalu.
Keputusan ini mempertimbangkan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka menengah yang baik serta rasio utang pemerintah terhadap PDB yang rendah.
Di sisi lain, Fitch melihat masih ada beberapa tantangan yang perlu direspons, yaitu rasio pembiayaan eksternal yang meningkat, penerimaan pemerintah yang masih rendah, serta beberapa indikator struktural seperti PDB per kapita dan tata kelola, yang relatif lebih rendah dibandingkan negara-negara lain pada peringkat yang sama.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyatakan afirmasi rating Indonesia pada peringkat BBB dengan outlook stabil menunjukkan, di tengah ketidakpastian ekonomi global yang masih tinggi, peningkatan risiko stagflasi seiring kenaikan suku bunga kebijakan secara global di tengah ekonomi yang baru pulih.
Selain itu, makin meluasnya kebijakan proteksionisme yang ditempuh oleh berbagai negara, pemangku kepentingan internasional tetap memiliki keyakinan yang kuat atas terjaganya stabilitas makroekonomi dan prospek ekonomi jangka menengah Indonesia.
“Hal ini didukung oleh kredibilitas kebijakan yang tinggi dan sinergi bauran kebijakan yang kuat antara Bank Indonesia dan Pemerintah,” ungkap Perry, dalam keterangan resmi, Selasa (28/6).
Ke depan, Bank Indonesia akan terus mencermati perkembangan ekonomi dan keuangan global dan domestik, merumuskan dan melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan terjaganya stabilitas makroekonomi dan stabilitas keuangan, termasuk penyesuaian lebih lanjut stance kebijakan, serta terus memperkuat sinergi dengan pemerintah untuk mempercepat proses pemulihan ekonomi nasional.
Pada laporan yang dirilis hari ini (28/6), Fitch menilai, pemulihan ekonomi Indonesia akan berlanjut didukung kinerja sektor jasa yang membaik dan ekspor yang kuat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 diperkirakan tumbuh 5,6% dan meningkat menjadi 5,8% pada 2023.
Di sisi eksternal, Fitch memperkirakan transaksi berjalan akan mencatat defisit yang rendah yaitu sebesar 0,4% dari PDB pada 2022 dan meningkat menjadi 1,0% dari PDB pada 2023. Terkait perkembangan harga, Fitch melihat adanya risiko kenaikan tekanan, meski meyakini bahwa inflasi masih akan tetap terjaga dalam kisaran sasaran 3%+1%.
Dalam jangka menengah, pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai 5,8% pada 2024, didukung oleh dampak positif dari implementasi UU Cipta Kerja terhadap kenaikan investasi, serta komitmen pembangunan infrastruktur yang terus berlanjut.
Pada sisi fiskal, Fitch melihat komitmen dari Pemerintah untuk menurunkan defisit fiskal menjadi di bawah 3% pada 2023, akan tercapai. Proyeksi defisit fiskal tahun 2022 diperkirakan turun menjadi 4,3% dari PDB, dibandingkan defisit fiskal pada 2021 sebesar 4,6% dari PDB.
Di tengah harga komoditas global yang meningkat, pemerintah telah mengalokasikan anggaran subsidi yang lebih tinggi untuk menjaga daya beli masyarakat. Namun demikian, kenaikan subsidi tersebut disertai oleh peningkatan penerimaan yang ditopang oleh harga komoditas yang tinggi.
Dengan perkembangan tersebut, Fitch memperkirakan utang pemerintah akan menurun secara bertahap dari level 44,2% dari PDB pada 2022. Level utang ini jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara lain pada peringkat yang sama (55,9% dari PDB).
Selain itu, ketergantungan Indonesia atas pembiayaan eksternal lebih rendah yang diindikasikan oleh kepemilikan investor asing atas surat berharga pemerintah dalam rupiah yang menurun. Dukungan Bank Indonesia dalam pembiayaan defisit fiskal melalui pembelian surat berharga pemerintah dipandang dapat membantu mengelola beban bunga.
“Perlu ditekankan bahwa dukungan tersebut akan berakhir pada 2022, sehingga tidak menimbulkan risiko bagi kredibilitas kebijakan moneter yang selanjutnya akan mempengaruhi persepsi positif investor,” urainya.