Inflasi Makin Melambung, Kapan BI akan Meninggalkan Era Bunga Murah?
Bank Indonesia kembali mempertegas bahwa penetapan kebijakan suku bunga akan mengacu pada data inflasi inti dan kondisi pemulihan ekonomi. Meski inflasi tahunan secara keseluruhan sudah jauh di atas target BI, inflasi inti yang mencapai 2,86% dinilai masih sangat rendah dan berada di bawah perkiraan bank sentral. Perekonomian juga dinilai belum benar-benar pulih.
Gubernur BI Perry Wariyo menyebut kebijakan suku bunga mempertimbangkan dua indikator, yakni inflasi inti dan proyeksi pertumbuhan ekonomi. Realisasi inflasi inti bulan Juli disebut lebih rendah dari perkiraan BI yang akan berada di level 2,99%.
"Harap diingat, bahwa kebijakan suku bunga BI adalah untuk inflasi inti yang pada bulan ini memang masih rendah, Indeks Harga Konsumen (IHK) yang tinggi karena inflasi pada komponen bahan makanan," kata Perry dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Senin (1/8).
Perry menegaskan, pihaknya menggunakan indikator inflasi inti sebagai pertimbangan suku bunga, bukan IHK.Ia beralasan, inflasi inti secara aktual mencerminkan kekuatan permintaan. Sebaliknya, inflasi headline atau IHK dipengaruhi banyak komponen, tak hanya permintaan.
Ia pun menyebut IHK bulan lalu yang melonjak tinggi dan menyentuh 4,94% mayoritas dipengaruhi oleh harga pangan bergejolak alias volatile food. Kondisi ini hampir serupa dengan inflasi Juni, sehingga BI memutuskan tak menaikkan bunga.
Adapun inflasi pada komponen volatile food pada Juli sudah mencapai lebih dari 11%. Ini terjadi karena gangguan pasokan di dalam negeri akibat kondisi cuaca serta harga internasional yang melambung. Perry pun meramal inflasi tinggi pada komponen volatile food tersebut akan segera mereda.
"Pemantauan kami di 46 kantor-kantor BI bahwa pasokan pangan Agustus, September, Oktober, November dan akhir tahun itu akan meningkat. Pasokan bawang merah, cabai merah, cabai rawit, telur ayam, daging sapi dan sekarang minyak goreng turun, kami inflasi inflasi makanan (volatile food) akan turun," kata Perry.
Indikator kedua yang dipertimbangkan BI sebelum menergek bunga yakni realisasi pemulihan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi diramal masih berlanjut pada kuartal kedua sebesar 5,05%. Meski sudah tumbuh kuat, perekonomian dinilai masih belum betul-betul pulih.
Konsumsi swasta disebut baru meningkat pada momentum Ramadan dan lebaran kemarin. "ini yang perlu dijaga untuk momentum pertumbuhan ekonomi," kata Perry.
Perry pun kembali menegaskan bahwa dasar utama kebijakan suku bunga BI adalah pada kondisi domestik sekalipun juga melihat perkembangan internasional. Meski The Fed dan bank sentral negara lain mengerek bunga, menurut Perry, BI tidak serta merta harus ikut mengerek bunga.
BI juga melihat kenaikan suku bunga The Fed di sisa tiga pertemuannya tahun ini tak akan seagresif dua pertemuan sebelumnya. The Fed telah menaikkan bunga pada Juni dan Juli masing-masing sebesar 75 bps demi menekan inflasi.
"Dengan perkembangan terakhir, kemungkinan-kemungkinan bahwa The Fed tidak akan seagresif yang kami perkirakan sebelumnya dengan risiko-risiko resesi di AS yang terus meningkat," kata Perry.
BI memperkirakan suku bunga The Fed akan dinaikan 50 bps pada pertemuan September. The Fed masih memiliki dua pertemuan di kuartal IV yakni November dan Desember yang diperkirakan menaikan bunga antara 25-50 bps. Adapun BI hingga kini masih mempertahankan bunga murah di level 3,5%.