Chatib Basri Peringatkan Dampak Suramnya Ekonomi Amerika ke Indonesia
Ekonomi Amerika Serikat mengalami kontraksi selama dua kuartal berturut-turut. Ekonom Senior sekaligus mantan Menteri Keuangan Chatib Basri memperingatkan, penurunan ekonomi Amerika dapat berdampak terhadap ekonomi domestik.
Ekonomi AS mengalami resesi teknis setelah terkontraksi 0,9% pada kuartal kedua. Pada kuartal I 2022, ekonomi Amerika juga mengalami kontraksi 1,4%.
"Jika ekonomi AS melambat, ini akan berdampak ke negara-negara Eropa dan juga Cina. Sementara Cina memiliki peran yang sangat penting, terutama bagi negara seperti Indonesia dan Australia sebagai negara penghasil sumber daya alam," kata Ekonom Senior yang juga mantan Menteri Keuangan Chatib Basri dalam diskusi daring, Rabu (3/8).
AS dan Cina merupakan dua negara tujuan ekspor komoditas Indonesia. Jika ekonomi melambat, permintaan terhadap komoditas Indonesia juga akan menurun. Saat permintaan turun, maka harga komoditas kemungkinan juga turun di masa mendatang. Padahal, booming harga komoditas telah menjadi salah satu mesin bagi perekonomian RI, termasuk bagi keuangan pemerintah.
Masalah lainnya menurut Chatib, adalah pengetatan moneter yang dapat menahan pertumbuhan. Inflasi yang masih tinggi di banyak negara dapat membuat bank sentral mengambil langkah agresif mengetatkan moneter sehingga menimbulkan gejolak pada negara emerging market, seperti Indonesia.
Sekalipun inflasi diklaim masih terkendali di Indonesia, Chatib melihat inflasi masih berpotensi meningkat ke depannya. Dengan inflasi yang terus merangkak naik, ia yakin banyak bank sentral termasuk Indonesia bakal mengikuti jejak The Fed menaikkan bunga.
"Kemungkin Bank Indonesia juga perlu mengambil siklus pengetatan moneter pada akhir tahun ini atau mungkin tahun depan. Jadi, dari sisi ekonomi, kita akan melihat kemungkinan perlambatan ekonomi" kata Chatib.
Ia menjelaskan, engetatan moneter berarti biaya bunga pinjaman menjadi lebih mahal. Kondisi ini bakal mendorong investasi melemah.
Selain itu, Chatib mengingatkan, tantangan dari sisi fiskal akan makin berat tahun depan. Pemerintah harus mengerek defisit anggaran turun ke bawah 3% atau dengan kata lain ruang fiskal makin terbatas. Di sisi lain pemerintah juga memerlukan anggaran cukup besar untuk menjaga masyarakat rentan dari kenaikan harga-harga melalui pemberian subsidi.
"Saya bisa melihat kemungkinan kontraksi fiskal sekaligus pengetatan moneter akan segera terjadi atau mungkin tahun depan. Implikasinya baik dari internal maupun eksternal, akan ada semacam x yang kuat untuk Indonesia, dan juga negara berkembang lainnya sehingga ada risiko perlambatan," kata Chatib.
Meski demikian, ia menyebut masih ada optimisme. Surplus neraca dagang membantu menjaga stabilitas rupiah. Aliran modal masuk khususnya di pasar saham juga masih terjadi. Kondisi ini yang menurutnya membuat Indonesia lebih beruntung dibandingkan negara lain.
Selain itu, perlambatan juga kemungkinan hanya bersifat sementara. Pasalnya, begitu bank sentral berhasil mengatasi inflasi dengan berbagai kebijakannya, maka ekonomia akan mulai bergerak lagi.