Kemenkeu: Kenaikan Harga BBM Lebih Memukul Daya Beli Menengah Atas
Pemerintah optimistis pertumbuhan ekonomi dapat mencapai target sebesar 5,2% pada tahun ini meski harga BBM naik. Ini karena pukulan terhadap daya beli kelompok masyarakat miskin akibat kenaikan harga BBM diantisipasi pemerintah memalui pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT).
"Daya beli masyarakat yang sebetulnya terdampak terutama dari kenaikan harga ini adalah kelas menengah atas," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu di Kompleks Parlemen, Senin (5/9).
Di sisi lain, ia memastikan daya beli masyarakat kelompok miskin terjaga. Menurut hitung-hitungan Kemenkeu, kenaikan harga BBM memang akan menambah biaya hidup masyarakat 40% termiskin sebesar Rp 8 triliun. Namun, ini telah dikompensasi dengan adanya tambahan bantuan sosial (bansos) sebesar Rp 24,17 triliun.
"Kami yakin bahwa tambahan bansos akan cukup, khususnya untuk kelompok masyarakat rentan dan miskin," kata Febrio.
Pemerintah menambah anggaran bansos Rp 24,17 triliun yang diklaim menjangkau hingga 40% termiskin. Dari alokasi tersebut terdapat Bantuan Langsung Tunai (BLT) disiapkan sebesar Rp 12,4 triliun yang menjangkau 20,65 juta keluarga.
Kenaikan harga-harga akibat BBM kemungkinan mengerek threshold garis kemiskinan sehingga berpotensi menambah jumlah orang miskin, Namun Febrio mengklaim tambahan bansos akan membangtu mengurangi angka kemiskinan tahun ini hingga 0,3%.
Pemerintah resmi menaikan harga BBM jenis Pertalite, Solar dan Pertamax mulai 3 September. Riset Bank Mandiri menunjukkan kenaikan harga tersebut dapat memenangkan pertumbuhan ekonomi sampai dengan 0,33%. Namun perekonomian diramal masih bisa tumbuh di kisaran 5% pada tahun ini.
Kenaikan harga BBM diperkirakan bisa mengerek inflasi tahun ini di kisaran 6,27% dari perkiraan sebelum adanya kenaikan sebesar 4,6%. Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman menyebut kenaikan inflasi tersebut tentunya dapat mengurangi daya beli masyarakat, terlebih konsumsi Pertalite merupakan yang terbesar dalam konsumsi bahan bakar di Indonesia.
"Hal ini berisiko mengurangi pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang diharapkan menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 ini, atau ketika periode pemulihan ekonomi setelah pelonggaran PPKM terkait pandemi COVID-19 dilakukan," kata Faisal dalam risetnya, Minggu (5/9).
Namun, tambahan bantuan sosial sebesar Rp 24,17 triliun diharap bisa menahan risiko penurunan daya beli tersebut dna tentunya menjaga pertumbuhan ekonomi.