Benarkah Konversi Elpiji 3 Kg ke Kompor Listrik Menghemat Uang Negara?
Pemerintah akan memulai program konversi kompor gas ke kompor industri listrik guna menarik bertahap peredaran elpiji 3 kg. Sejumlah ekonom melihat langkah ini mampu menghemat keuangan negara lantaran elpiji 3 kg menghabiskan subsidi mencapai ratusan triliun.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menjelaskan, pihaknya telah menyiapkan program konversi tahun depan dengan menyasar 5 juta keluarga penerimaan manfaat. Dia memproyeksikan program ini dapat menghemat Rp 5,5 triliun per tahun. Apabila jumlah keluarga penerima manfaat mencapai 15,3 juta, maka proyeksi penghematan APBN bisa mencapai Rp 16,8 triliun per tahun.
"Saving ini dari mana? Ini dari fakta bahwa per kilogram elpiji biaya keekonomiannya adalah sekitar Rp 20 ribu, sedangkan biaya keekonomian (kompor induksi) sekitar Rp 11.300 per kilogram listrik ekuivalen," kata Darmawan, beberapa waktu lalu.
Pembagian kompor listrik induksi akan dilakukan bertahap. Masyarakat akan mendapat satu unit kompor listrik industri dengan dua tungku masak yang masing-masing berdaya 1.000 watt.
Ekonom LPEM FEB Universitas Indonesia Teuku Riefky mengatakan, konversi ke kompor listrik tentu akan memberi ruang penghematan APBN dari sisi subsidi. Namun, ia belum bisa dapat menghitung penghematan uang negara dari kebijakan ini.
Alokasi subsidi untuk LPG 3 kg mencapai Rp 134,8 triliun atau seperempat dari total subsidi dan kompensasi energi tahun ini. Anggaranya bahkan lebih besar dibandingkan alokasi untuk subsidi dan kompensasi listrik yang mencapai Rp 100 triliun.
Riefky menyebut, bukan tidak mungkin pemerintah justru menanggung beban tambahan selama proses transisi karena harus tetap memberi subsidi di samping membiayai pengadaan kompor listrik.
"Karena tidak semua masyarakat beralih dari LPG 3 Kg ke kompor listrik, degree of substitution enggak besar. Walaupun subsidinya dialihkan belum tentu membuat masyarakat langsung beralih karena berbagai faktor, salah satunya karena kecenderungan pemakaian," kata Riefky.
Pakar Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menilai konversi ke kompor listrik menjadi langkah yang efektif menghemat APBN. Mayoritas kebutuhan bahan untuk LPG subsidi Indonesia saat ini perlu diimpor. Hal ini membuat besar kecilnya subsidi sangat terpengaruh kondisi pasar global.
Di sisi lain, konversi kompor ini bisa mendorong pemerintah fokus pada pemberian subsidi listrik yang notabennya lebih tepat sasaran dibandingkan susbdi LPG. Masyarakat miskin yang sebelumnya menggunakan daya 450 VA bisa dinaikan ke 900 VA seiring akan dibagikannya kompor listrik. Meski demikian, subsidi tetap diberikan kepada mereka yang daya listriknya dinaikkan menjadi 900 VA.
"LPG itu hampir 80% bahanya impor. Ini jelas menjadi pembengkakan APBN. Belum lagi subsidinya tidak tepat sasaran, Sementara kalau pindah ke kompor listrik yang disubsidi adalah listrik, itu cenderung sudah tepat sasaran," ujarnya.
Data Susenas 2021 menunjukkan subsidi listrik termasuk kategori progresif dibandingkan LPG maupun Solar yang cenderung regresif. Artinya, subsidi listrik yang diberikan lebih tepat sasaran. Rumah tangga miskin terutama 40% terbawah menikmati hampir separuh dari subsidi listrik, berbeda dengan LPG yang mayoritas justru dinikmati kelompok mampu.