IMF: Ratusan Juta Orang Akan Merasakan Sulitnya Ekonomi Seperti Resesi
Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut ratusan juta orang akan merasakan dampak dari penurunan ekonomi yang sangat tajam sekalipun secara kinerja perekonomian negaranya masih bisa tumbuh positif. Prospek pertumbuhan tahun depan dipangkas menjadi hanya 2,7%, menunjukkan perlambatan dari tahun ini.
"Di banyak negara, risiko resesi meningkat. Bahkan ketika pertumbuhan tetap positif, bagi ratusan juta orang, itu akan terasa seperti resesi karena kenaikan harga dan pendapatan yang menyusut," kata Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva dalam keterangan persnya dikutip Jumat (14/10).
Ia mengatakan, ketidakpastian masih sangat tinggi. Perkiraan IMF menunjukkan terdapat 25% probabilitas perekonomian dunia tumbuh melambat hingga di bawah 2%. Ini merupakan kinerja pertumbuhan yang secara historis rendah, bahkan hanya lima kali sejak tahun 1970 perekonomian tumbuh di level tersebut.
IMF juga melihat ada potensi risiko lebih buruk lagi, perekonomian dunia bisa tumbuh hanya 1,1% dengan pendapatan per kapita stagnan pada tahun. Namun, probabilitasnya lebih kecil.
Dalam laporan terbarunya, IMF menyebut perlambatan akan meluas di banyak perekonomian pada tahun depan. Sebanyak 31 negara yang mencakup sepertiga perekonomian dunia, akan mengalami kontraksi ekonomi selama dua kuartal beruntun antara tahun ini dan tahun depan. Kontraksi dua kuartal beruntun umumnya diartikan sebagai terjadinya resesi.
Tiga perekonomian terbesar, Amerika Serikat, Cina dan zona euro akan melemah. Ekonomi AS hanya akan tumbuh 1% pada tahun depan sebagai imbas pengetatan kebijakan moneter. Cina juga akan melambat, dengan perkiraan pertumbuhan 4,4% pada tahun depan karena berlanjutnya permasalahan di sektor properti dan kebijakan lockdown Covid-19.
Penurunan signifikan juga terlihat di zona euro dengan prospek pertumbuhan hanya 0,5%. Penyebab utama perlambatan ekonomi di kawasan ini terutama karena ancaman krisis energi akibat perang Rusia dan Ukraina.
Kenaikan harga-harga barang juga terjadi di mana-mana, terutama makanan dan energi. Kondisi ini akan semakin memukul kelompok rumah tangga miskin dan rentan.
"Meskipun terjadi perlambatan, tekanan inflasi terbukti lebih luas dan lebih persisten dari yang diperkirakan," kata Direktur Riset IMF Pierre Olivier Gourinchas dalam media briefing beberapa waktu lalu.
Inflasi global sekarang diperkirakan akan mencapai puncaknya pada 9,5% pada kuartal ketiga tahun 2022. Inflasi masih akan tetap tinggi pada tahun depan sebelum melambat menjadi 4,1% pada tahun 2024.
Tekanan harga juga meluas bukan hanya di makanan dan energi. Inflasi inti global naik dari tingkat bulanan tahunan sebesar 4,2% pada akhir 2021 menjadi 6,7% secara rata-rata di banyak negara pada Juli lalu.