Bank Dunia Anggap Risiko Stagflasi Sekarang Mirip dengan 1970-an
Bank Dunia menyatakan kondisi ekonomi saat ini memiliki kemiripan dengan stagflasi pada 1970-an. Namun, kerangka kebijakan moneter saat ini sudah lebih kuat dibandingkan empat dekade yang lalu. Sehingga periode kelam pada stagflasi 1970-an yang kemudian diikuti krisis keuangan kemungkinan bisa dihindari.
"Ada beberapa kesamaan antara apa yang terjadi dalam kondisi ekonomi global saat ini, dengan apa yang terjadi pada periode stagflasi terakhir pada tahun 1970-an," kata Ekonom Bank Dunia Habib Rab dalam Konferensi Internasional BUMN, Selasa (18/10).
Beberapa kesamaan tersebut, pertama, kenaikan inflasi yang cepat. Guncangan harga komoditas yang terjadi pada pertengahan tahun 1970-an mirip dengan kondisi pada tahun ini. Lonjakan harga komoditas itu kemudian mendorong inflasi melonjak secara global. Ketika itu, Bank sentral lebih lambat memperketat kebijakan moneternya dibandingkan pada saat ini.
Kedua, lonjakan inflasi didahului oleh periode panjang kebijakan moneter akomodatif. Tingkat suku bunga global selama 2010-2021 mendekati negatif 0,6%, lebih rendah dibandingkan periode 1970-1980. Suku bunga semakin masif dipangkas terutama saat dunia menghadapi pandemi.
Suku bunga rendah tersebut kemudian membawa situasi kepada kemiripan ketiga, yakni lonjakan utang. Peningkatan utang sepanjang 2010-2021 bahkan lebih cepat dibandingkan periode 1970-1980. Total utang di negara berkembang dan emerging market pada tahun lalu sudah di atas 120% dari PDB, dari tahun 1980 masih di kisaran 60%.
Keempat, kemunduran pada pertumbuhan ekonomi dunia. Prospek pertumbuhan ekonomi dunia pada 2021-2024 dipangkas hampir tiga point persentase, ini bahkan lebih rendah pada periode 1976-1979 yang melambat satu poin persentasi.
Habib mengatakan stagflasi yang terjadi pada pertengahan 1970-an kemudian menyebabkan krisis keuangan. "Namun sekarang tampaknya ada alasan yang bagus untuk berpikir bahwa situasi ini (krisis keuangan setelah stagflasi) dapat dihindari pada tahun-tahun mendatang karena ada beberapa perbedaan," ujarnya.
Kerangka kebijakan moneter oleh bank sentral di banyak negara telah meningkat menjadi lebih baik saat ini dibandingkan periode stagflasi terakhir kali. Pada tahun ini, lebih dari 40 negara di dunia telah memiliki target inflasinya masing-masing, berbeda saat tahun 2000, hanya kurang dari 20 yang mengadopsi langkah ini.
Selain itu, penguatan kerangka kebijakan moneter juga telah lebih baik dalam menjangkar ekspektasi inflasi. Hal ini tercermin dari sensitivitas ekspektasi inflasi terhadap setiap kali terjadi kejutan kenaikan harga terus menurun. Artinya, setiap kali terjadi kenaikan harga tiba-tiba, tidak serta merta ikut menyeret ekspektasi inflasi melonjak signifikan.
"Jadi, ekspektasi inflasi menjadi jauh lebih bisa dijangkau karena kredibilitas bank sentral dalam mengelola inflasi, termasuk di Indonesia," kata Habib.