BI Kembali Peringatkan Risiko Resflasi di Depan Jokowi dan Sri Mulyani
Bank Indonesia kembali menyinggung risiko resflasi, kombinasi resesi dan inflasi tinggi yang menghantui perekonomian dunia pada tahun depan. Hal itu disampaikan langsung Gubernur BI Perry Warjiyo di hadapan Presiden Jokowi dan Menteri Keuangan Sri Mulyani di acara Pertemuan Tahunan BI (PTBI) 2022, Rabu (30/11).
Perry dalam sambutannya mengatakan situasi dunia masih bergejolak. Ketidakpastian masih tinggi terkait perang Rusia dan Ukraina. Prospek ekonomi dunia juga diperparah oleh memanasnya hubungan ekonomi Cina dan AS, serta berlanjutnya kebijakan lockdown Covid-19 di Cina.
"Harga energi dan pangan masih tinggi, pasokan dan distribusi barang yang masih tersendat, risiko stagflasi dan bahkan resflasi, serta persepsi risiko yang negatif dari para investor global," ujar Perry.
Istilah resflasi mulai dipopulerkan BI sejak rapat dengan DPR pekan lalu. Saat itu, Perry mengatakan dunia bukan hanya terancam stagflasi, bahkan mengarah ke resflasi.
BI meramalkan ekonomi dunia akan tumbuh melambat tahun depan, dari 3% tahun ini menjadi 2,6%. Dalam skenario terburuk, pertumbuhan 2023 bakan kemungkinan hanya 2%. Risiko resesi juga sudah meningkat di Amerika Serikat dan Eropa.
Dalam sambutannya pagi ini, Perry juga memperingatkan terdapat lima permasalahan yang membayangi prospek ekonomi dunia pada tahun depan. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang menurun. Beberapa negara bukan hanya akan mengalami perlambatan tetapi juga ada yang berisiko masuk ke jurang resesi.
Kedua, inflasi masih akan tinggi terutama yang didorong oleh kenaikan harga energi dan pangan. Ketiga, suku bunga tinggi sebagai konsekuensi dari kenaikan harga-harga barang. Banyak bank sentral dunia suda mengerek suku bunga, termasuk bank sentral AS, The fed yang mengerek suku bunganya secraa agresi dalam beberapa pertemuan terakhir.
"Suku bunga tinggi, higher for longer, suku bunga The Fed bisa mencapai 5% dan akan tetap tinggi selama tahun 2023," kata Perry.
Ekspektasi bahwa suku bunga higher for longer sebetulnya juga meluas di pasar global. Hal ini setelah sejumlah pejabat The Fed beberapa hari lalu berkomentar bahwa suku bunga masih perlu naik dari level saat ini dan perlu dipertahankan setidaknya sampai 2024.
Keempat, penguatan dolar AS. Perry menyebut penguatan dolar AS menjadi alasan banyak mata uang negara berlmebang termasuk Indoensia keok beberapa bulan terakhir. Mengutip Bloomberg, rupiah di pasar spot siang ini menembuh lebih dari Rp 15.730, melemah 10,3% secara tahun kalender (ytd).
Kelima, cash is the king. Istilah ini merujuk kepada investor yang lebih terbaik untuk memegang cash. "Penarikan dana investor global dan mengalihkannya ke aset likdi karena risiko tinggi," kata Perry.