Rupiah Menguat Paling Perkasa di Asia, BI Tak Intervensi
Nilai tukar rupiah menguat 1,2% ke level Rp 14.888 per dolar AS pada penutupan perdagangan hari ini, Selasa (24/1). Bank Indonesia mengaku tak melakukan intevensi yang mempengaruhi pergerakan rupiah hari ini.
Kurs rupiah menguat paling perkasa di antara mata uang utama Asia lainnya. Sejumlah mata uang Asia juga menguat terhadap dolar AS hari ini, seperti ringgit Malaysia yang menguat 0,52%, peso Filipina 0,26% , yen Jepang 0,48% dan dolae Hong Kong 0,01%. Sementara itu, sejumlah mata uang Asia lainnya melemah dengan koreksi paling dalam dialami yuan Cina 0,25%.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Edi Susianto mengatakan, penguatan rupiah terjadi seiring sentimen risk on yang meningkat di Wall Street. Hal ini ditandai menguatnya pasar saham AS dan indeks dolar AS yang melemah.
"Sentimen risk on berlanjut ke pasar Asia di tengah volume perdagangan yang belum normal karena beberapa negara Asia masih libur Imlek," ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (24/1).
Indeks Wall Street ditutup menghijau pada perdagangan kemarin. Dow Jones Industrial Average menguat 0,76%, S&P 500 menguat 1,2%, Nasdaq Composite 2,01%.
Rupiah juga terapresiasi seiring investor yang masih melihat kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang masih positif.
Ia pun memastikan BI tidak melakukan intervensi atau masuk ke pasar di tengah kondisi yang masih kondusif tersebut. BI melihat mata uang Asia masih berpeluang kondusif ke depan di tengah ekspektasi kenaikan bunga The Fed melambat seiring inflasi yang mulai turun.
Kurs rupiah telah menguat 4,4% sepanjang tahun ini. Penguatan rupiah terhadap dolar AS tersebut adalah salah satu yang tertinggi dibandingkan mata uang Asia lainnya.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan, risiko resesi di Amerika Serikat menjadi penyokong koreksi dalam indeks dolar AS hari ini. Hal ini mendorong rupiah menguat. "Dolar melayang di dekat level terendahnya dalam sembilan bulan terhadap mata uang lainnya, karena para pedagang mempertimbangkan risiko resesi di AS dan jalur kebijakan bank sentral AS, The Fed," kata Ibrahim Assuaibi dalam catatannya.
Berdasarkan alat pemantauan CME FedWacth Tool, mayoritas pasar memperkirakan bunga The Fed hanya anak naik 25 bps pada pertemuan 1 Februari mendatang. Ini mengindikasikan pelonggaran lebih lanjut setelah bank sentral utama dunia itu mengerek bunga agresif pada tahun lalu.
Ia juga menilai sentimen dari dalam negeri cukup positif dan mendukung penguatan rupiah. Pertumbuhan ekonomi tahun lalu yang akan dirilis awal bulan depan kemungkinan menunjukkan pertumbuhan antara 5,2%-5,3%. Ini mengindikasikan ekonomi domestik meningkat saat global justru terancam resesi.
Di sisi lain, upaya BI memperkuat respons bauran kebijakannya dinilai membantu memperkuat rupiah. BI kembali mengerek suku bunga menjadi 5,75% pada pertemuan pekan lalu. BI juga memperkuar stabilisasi nilai tukar rupiah melalui intervensi tiga lapis, yakni di pasar spot, DNDF, serta pembelian dan penjualan SBN di pasar sekunder.