Beda Nasib Ekonomi Jokowi vs SBY: Pertumbuhan Ekonomi Hingga Utang
Produk domestik bruto (PDB) per kapita selama delapan tahun era kepemimpinan Joko Widodo naik lebih lambat dibandingkan periode yang sama era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sebaliknya, kenaikan utang pemerintah era Jokowi jauh lebih tinggi, terutama karena melewat periode pandemi yang menjadi penyebab meningkatnya kebutuhan pembiayaan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, produk domestik bruto (PDB) per kapita Indonesia tahun lalu mencapai Rp 71 juta, naik 69% selama delapan tahun era presiden Jokowi. Kenaikan ini lebih kecil dibandingkan periode sama SBY yang naik 234% atau lebih dari tiga kali lipat.
Kenaikan PDB per kapita era Jokowi tak setinggi saat SBY seiring pertumbuhan ekonominya yang juga relatif lebih lambat. Rata-rata pertumbuhan ekonomi selama delapan tahun pertama masa jabatan SBY mendekati 6%, sementara di era Jokowi hanya 4,01%.
Apa penyebabnya?
Pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat di era Jokowi juga tak lepas dari pandemi Covid-19 yang berlangsung sejak 2020. PDB pada 2021 anjlok 2,1% dan hanya tumbuh 3,69% pada 2021. Pertumbuhan ekonomi di era Jokowi mencapai angka tertinggi pada tahun lalu sebesar 5,31%.
Adapun era pemerintah SBY juga sebetulnya melewati guncangan yang berasal dari krisis keuangan global 2008. Namun saat itu, perekonomian Indonesia tak banyak terpengaruh. Perekonomian hanya melambat dengan pertumbuhan masih di atas 4% pada 2009.
Agar lebih adil, mari membandingkan kinerja pertumbuhan ekonomi periode pertama dua presiden tersebut. Rata-rata pertumbuhan ekonomi di lima tahun pertama Jokowi sebesar 5,03%, ternyata masih lebih rendah dibandingkan SBY sebesar 5,6% yang saat itu sebetulnya sudah terimbas efek krisis keuangan 2008.
Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad menyebut pertumbuhan lebih lambat di era Jokowi seiring de-industrialisasi yang berjalan semakin cepat. Sumbangan sektor manufaktur ke perekonomian Indonesia terus menyusut dibandingkan era SBY.
"Ini semakin kelihatan sejak makin banyak perjanjian dagang yang kemudian menyebabkan bea impor 0%, walhasil industri di lama kelamaan tidak bisa bersaing dengan produk impor," kata Tauhid, Kamis (9/2).
Senada, Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal juga menyebut sumbangan sektor manufaktur di era Jokowi semakin menyusut dibandingkan era SBY. Padahal, sektor ini cukup vital bagi perekonomian. Pertumbuhan kuat di sektor manufaktur jadi kunci dibalik kesuksesan beberapa negara maju di Asai seperti Jepang dan Korsel.
"Namun memang akhir-akhir ini di penghujung masa Presiden Jokowi mendorong adanya hilirisasi, ini sebetulnya salah satu upaya mendorong pertumbuhan sektor manufaktur," kata Faisal.
Soal pertumbuhan ekonomi, SBY mungkin lebih sukses, tetapi Jokowi lebih unggul dalam hal menurunkan masalah ketimpangan si kaya dan si miskin. Meski pertumbuhan ekonomi kuat, rasio gini pada era SBY justru naik dari 0,35 menjadi 0,41 dalam delapan tahun pertama kepemimpinannya. Sebaliknya, Jokowi menurunkan rasio gini dari 0,41 menjadi 0,38.
Bagaimana Soal Utang?
Selama delapan tahun era Jokowi, utang pemerintah meningkat hampir tiga kali lipat menjadi Rp 7.733 triliun pada akhir tahun lalu. Sebaliknya, utang di era SBY naik 52%. Utang di era Jokowi naik signifikan padahal pertumbuhan ekonominya juga tidak begitu bersinar.
Namun seperti halnya pertumbuhan ekonomi, soal utang di era jokowi juga harus melihat situasi 2020. Pandemi menyebabkan utang pemerintah bertambah hampir 1.3000 triliun hanya dalam setahun.
Hal ini tidak mengejutkan karena penerimaan negara saat tahun pertama pandemi anjlok karena ekonomi tertahan. Ini artinya setoran pajak dan sumber penerimaan negara lainnya menyusut. Sebaliknya, besarnya kebutuhan penanganan pandemi menyebabkan belanja negara membengkak dan defisit juga jauh lebih besar.
Namun, sebelum pandemi pun penarikan utang di era Jokowi memang lebih besar. Rasio utang terhadap PDB selama periode pertama SBY menyusut tajam 28,7 point presentasi menjadi 28,3% PDB. Pada era Jokowi kembali naik 5,1 poin menjadi 29,8% PDB.
"Memang di era Jokowi utang naik lebih agresif, pendanaan utang lebih besar saat semakin besar memberikan injeksi modal ke BUMN dan pembangunan infrastruktur. Namun memang dampak utang untuk pembangunan infrastruktur ke ekonomi baru akan terasa di jangka panjang," kata Tauhid.
Meski demikian, Kementerian Keuangan berulang kali memastikan pengelolaan utang saat ini dalam batas aman. Ada beberapa kabar baik, terutama karena proporsi utang dalam bentuk mata uang lokal rupiah terus naik. sebaliknya utang mata uang asing alias valas terus menyusut.
1