BI Beberkan Perbedaan Bisnis Bank di RI dan Tiga Bank AS yang Bangkrut
Bank Indonesia menyebut terdapat beberapa perbedaan kondisi perbankan di Indonesia saat ini dengan tiga bank AS yang bangkrut sepekan terakhir. Hasil uji ketahanan atau stress test yang dilakukan bank sentral menunjukkan kondisi perbankan yang masih kuat.
Amerika Serikat sedang menghadapi krisis perbankan akibat kegagalan tiga bank dalam sepekan, yakni Silvergate Bank, Silicon Valley Bank, dan Signature Bank. Investor pun mulai khawatir, kejatuhan tiga bank tersebut akan memicu krisis finansial di AS yang dapat merembet ke berbagai belahan dunia lainnya.
Gubernur BI Perry Wariyo menyebut kejatuhan tiga bank tersebut terjadi karena model bisnisnya yang rentan. Ada beberapa kondisi yang menunjukkan kerentanan tersebut. Pertama, pengumpulan dana yang dilakukan ketiga bank tersebut terkonsentrasi dari deposan-deposan besar yang memiliki karakteristik sama. Mayoritas nasabah ketiga bank itu adalah startup dan perusahaan teknologi keuangan dengan porsi melampaui 90% dari sumber dana pihak ketiga yang dikumpulkan.
Kedua, dana yang dikumpulkan kemudian sebagian besar ditempatkan di surat berharga pemerintah. Memang obligasi tersebut berisiko rendah karena milik pemerintah, hanya saja kebanyakan yang dipegang ketiga bank tersebut memiliki karakteristik available for sale atau dapat dijual sebelum jatuh tempo.
"Sehingga ini lah kenapa kemudian terjadi loss dalam valuasi sekuritasnya saat suku bunga The Fed naik yang kemudian imbal hasil atau yield naik, sehingga harganya jatuh dan terjadi valuasi negatif dari surat-surat berharganya," kata Perry dalam konferensi pers, Kamis (16/3).
Valuasi aset yang negatif alias merugi itulah yang kemudian menggerogoti modal bank, terutama dalam kasus SBV. Saat bank berusaha mencari dana segar melalui penggalangan dana di bursa, muncul rumor sehingga menciptakan kekhawatiran dari deposan soal kondisi keuangan bank. Kekhawatiran itu yang kemudian memicu bank run alias ramai-rama deposan menarik dananya. Persoalannya, mayoritas dari deposan tersebut berkarakter sama dan terkonsentrasi sehingga bank run terjadi dengan dangat cepat.
Dari hasil analisis itulah Perry optimistis kondisi bank di dalam negeri berbeda. Ia menyebut deposan dari bank-bank di dalam negeri tidak terkonsentrasi, hanya ada sedikit bank yang memiliki konsentrasi deposan berkarakteristik sama, dan itupun presentasinya hanya 35%-40%.
"Seingga deposit fundingnya itu cukup terdiversifikasi, sehingga itu memperkuat ketahanan funding dari bank" kata Perry.
Selain itu, hampir separuh dari portofolio SBN yang dimiliki bank-bank di Indonesia memiliki karakteristik hold to maturity atau dipegang sampai jatuh tempo. Ini berbeda dengan SVB yang kepemilikan obligasi pemerintah hanya sebagian kecil berkarakteristik hold to maturity.
Ia juga menyebut yield dari SBN Indonesia tahun lalu tidak terlalu tinggi sehingga efeknya terhadap koreksi valuasi portofolio bank tidak besar. Apalagi, menurut dia, bank-bank yang mengalami valuasinya negatif karena kenaikan yield itu juga sudah membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN).
Perry memastikan kejatuhan ketiga itu tak akan mempengaruhi bank domestik. Pasalnya bank0bank di dalam negeri tidak menempatkan dananya sebagai deposit di tiga bank yang bangkrut itu, sehingga dampak langsungnya tidak ada.