Masih Ada 400 Juta Orang di ASEAN Belum Punya Rekening Bank
Bank Dunia mencatat, kepemilikan rekening bank di ASEAN meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Meski demikian, masih terdapat sekitar 400 juta orang dari total 1,4 miliar penduduk ASEAN yang belum memiliki rekening bank.
Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste Satu Kahkonen mengatakan, ada dua kabar baik terkait inklusi finansial di ASEAN. Pertama, porsi kepemilikan rekening bank di ASEAN tumbuh pesat dari 36% pada 2014 menjadi 53% pada 2020 saat pertumbuhan rekening global stagnan di kisaran 10% per tahun.
"Ini berarti ada tambahan 170 juta orang yang memiliki akses ke rekening perbankan. Ini signifikan," ujar Kahkonen dalam High Level Seminar Innovative Strategy to Further Enhance Financial Inclusion di Nusa Dua, Bali, Rabu (29/3).
Kabar baik kedua, menurut dia, yakni menurunnya kesenjangan gender dalam hal kepemilikan rekening bank dari 9% menjadi 6% dalam empat tahun terakhir.
Ia menjelaskan, pertumbuhan inklusi keuangan terutama didorong oleh perkembangan teknologi finansial. Penggunaan layanan transaksi keuangan digital di ASEAN meningkat dari hanya 7% pada 2014 menjadi 23% pada 2020.
Dalam kasus Indonesia, menurut Kahkonen, kehadiran digital platform, seperti Tokopedia dan Gojek, mendorong terjadinya transaksi keuangan digital yang ikut meningkatkan kepemilikan rekening di Bank. Kehadiran QRIS juga secara signifikan mendorong inklusi finansial.
"Saat ini, pengguna telepon pintar di Indonesia dapat melakukan transaksi keuangan dengan lebih dari 19 juta merchant menggunakan kode QR," kata dia.
Dibalik kecepatan pertumbuhan inklusi keuangan, menurut dia, masih terdapat ratusan juta orang di ASEAN yang belum tersentuh layanan keuangan. Ia menyebut, terdapat enam kunci untuk mengatasi kesenjangan layanan keuangan di negara ASEAN, yakni mengatasi kesenjangan antara pedesaan dan perkotaan, pendapatan, permintaan kredit untuk UMKM yang tidak terpenuhi, kesenjangan biaya pengiriman uang, kesenjangan usia, dan akses ke layanan keuangan digital
Ia pun menilai, digitalisasi layanan keuangan dapat membantu menutup kesenjangan tersebut. Ada enam alasan dibaliknya yakni:
- Teknologi digital telah terbukti membantu pemerintah merespons guncangan dengan lebih cepat
- Uang elektronik dalam telepon genggam telah menunjukkan dampak besar pada keuangan digital
- Pembayaran digital telah berkontribusi pada tujuan pembangunan seperti elektrifikasi berkelanjutan dan akses ke layanan kesehatan
- Pembayaran digital juga dapat membantu membangun ketahanan finansial dan memitigasi risiko dari dampak buruk perubahan iklim.
- Layanan keuangan, yang didukung oleh perusahaan teknologi finansial/financial technology (tekfin/fintech) juga menurunkan biaya transaksi.
- Inovasi teknologi finansial dapat membantu mempersempit kesenjangan keuangan UMKM melalui produk digital baru dan otomatisasi proses.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam acara yang sama menyebutkan ada tiga cara inovatif untuk mendongkrak inklusi keuangan di Tanah Air, yakni mengembangkan ekosistem terintegrasi, akselerasi digitalisasi, serta meningkatkan literasi keuangan dan perlindungan konsumen
Ia menjelaskan, pengembangan ekosistem terintegrasi untuk mendukung pelaku usaha kecil melalui pengembangan klaster Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). BI saat ini memiliki sekitar 3.000 UMKM binaan melalui 46 kantor perwakilan untuk meningkatkan skala pelaku usaha.
Akselerasi digitalisasi, menurut dia, sudah dilakukan antara lain melalui pemanfaatan sistem pembayaran cepat atau BI Fast dan QRIS yang sudah dirilis BI. BI menyebut pengguna QRIS saat ini sudah mencapai 30 juta dan 80% di antaranya merupakan pelaku UMKM.
"Tahun ini kami menargetkan 45 juta pengguna QRIS," kata Perry.
Sementara terkait literasi keuangan dan perlindungan konsumen, menurut Perry, masih banyak pelaku UMKM di Indonesia yang membutuhkan pemahaman produk dan layanan keuangan. Adapun pemanfaatan teknologi digitalisasi juga berkaitan dengan keamanan siber khususnya menghindari penyalahgunaan data pribadi.
Otoritas Jasa Keuangan mencatat, tingkat inklusi keuangan di Indonesia pada 2022 mencapai 85% atau naik dibandingkan 2019 mencapai 76%. Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar berharap target inklusi keuangan yang dicanangkan pemerintah pada 2024 sebesar 90% dapat tercapai. Salah satunya, dengan mendorong fintech untuk berkontribusi optimal dalam meningkatkan literasi dan inklusi keuangan.
"Untuk mendukung itu, kami tetap harus meningkatkan aspek kehati-hatian," kata Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar dalam pemaparan virtual di sela Pertemuan Menteri Keuangan dan Bank Sentral ASEAN di Nusa Dua, Bali, Selasa.
Dia menjelaskan aspek kehati-hatian itu dilakukan denganmencermati situasi industri fintech yang saat berbeda dibandingkan beberapa waktu lalu. Perusahaan teknologi keuangan digital sempat didukung aliran likuiditas yang berlimpah di pasar modal dengan biaya rendah seiring kebijakan pemerintah dalam menghadapi dampak pandemi Covid-19, Namun, tingkat suku bunga di Amerika Serikat dan Eropa meningkat tajam dalam setahun terahir mengubah peta permainan bagi para pelaku fintech.