IMF Peringatkan Risiko Utang Swasta Naik di Asia saat Era Bunga Tinggi
Dana Moneter Internasional atau IMF memperingatkan risiko utang swasta di Asia, termasuk Indonesia yang meningkat di tengah era bunga tinggi. Risiko itu bisa meluas dalam kondisi sistem keuangan global yang makin memburuk.
Sektor swasta di Asia telah menumpuk utang selama pandemi. Pengetatan moneter dengan serangkaian kenaikan bunga agresi di Amerika Serikat dan negara maju akan memperburuk situasi karena biaya utang meningkat.
IMF menyebut utang swasta di kawasan terkonsentrasi di perusahaan-perusahaan rentan, yakni korporasi dengan rasio cakupan bunga atau interest coverage ratio (ICR) yang rendah atau kurang dari satu. ICR ini mencerminkan kemampuan perusahaan untuk membayar bunga, semakin rendah rasionya maka kesanggupan membayar bunga semakin buruk.
"Pada pertengahan 2022, lebih dari 20% utang perusahaan di Cina, India, Indonesia, Korea Selatan dan Thailand dimiliki oleh perusahaan dengan ICR rata-rata kurang dari satu selama empat kuartal, perusahaan ini dianggap beresiko bangkrut," dikutip dari laporan terbaru IMF, Rabu (3/5).
Konsentrasi utang di perusahaan yang berisiko itu jauh di atas rata-rata historis. Mayoritas berasal dari sektor industri, properti serta konstruksi. Ini tidak termasuk utang UMKM.
Dalam laporan itu, IMF kemudian membuat dua skenario terkait kerentanan dari sektor swasta di Asia ke depan dengan suku bunga yang lebih tinggi dan kondisi keuangan global yang bergejolak.
Skenario pertama, pengetatan kredit perbankan yang moderat. Pada skenario ini, diasumsikan bahwa pendanaan akan semakin ketat karena perusahaan jasa keuangan menaruh perhatian yang lebih besar terhadap solvabilitas bank dan potensi eksposur di seluruh sistem keuangan di tengah peristiwa krisis perbankan AS dan pengetatan moneter.
Dalam skenario pertama ini, kontribusi utang dari perusahaan rentan terhadap total utang swasta akan meningkat 150 bps dari baseline. Namun demikian, dampaknya terhadap pendapatan dari perusahaan akan terbatas.
Dalam skenario ini, lonjakan pada share utang perusahaan dengan ICR kurang dari satu akan melonjak di Korea Selatan, Singapura dan Vietnam. Peningkatan di Singapura mencerminkan pangsa utang jangka pendek yang lebih tinggi, sementara kenaikan di Vietnam lebih karena pada pertengahan tahun lalu memang sudah banyak perusahaan dengan ICR yang sedikit di atas satu sehingga berisiko makin turun dengan kondisi yang makin memburuk.
Skenario kedua, yakni penurunan yang tajam. Diasumsikan kerapuhan sistem perbankan benar-benar terwujud dan penyaluran kredit berkurang tajam. Dalam skenario ini, kontribusi utang perusahaan rentan terhadap total utang swasta akan meningkat sebesar 250 bps di masing-masing negara, tergantung dari seberapa besar tingkat eksposur terhadap kondisi keuangan global.
Dalam skenario kedua ini, konsentrasi utang di perusahaan yang rentan atau memiliki ICR kurang dari satu akan semakin meningkat. Pengecualian terhadap Australia karena korporasi di negara itu dinilai memiliki neraca yang tangguh.
"Meskipun terdapat kerentanan yang tinggi, sentimen pasar terhadap perusahaan di kawasan ini tampak beragam," dikutip dari laporan tersebut.
Sentimen pasar beragam lantaran perusahaan di Asia dan Pasifik sebetulnya juga telah membangun cash buffer alias kas penyangga yang signifikan selama periode suku bunga rendah. Pada pertengahan tahun lalu, lebih dari separuh perusahaan berisiko ternyata memiliki cash buffer dua kali lipat dari beban bunga utangnya setahun, kecuali di Indonesia, India dan Vietnam. Meski demikian, IMF memperingatkan kas itu diperkirakan akan habis dari waktu ke waktu jika pendapatan perusahaan tidak meningkat lebih cepat dari kenaikan biaya bunganya.