Ramalan BI soal Ekonomi Indonesia 2024: Inflasi Turun, Rupiah Menguat
Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 lebih tinggi dibandingkan tahun ini. Berbagai indiaktor ekonomi lainnya membaik, inflasi turun dan nilai tukar rupiah masih akan menguat terhadap dolar AS.
"Kami yakin pertumbuhan ekonomi di dalam negeri masih akan terus membaik didukung konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, investasi khususnya non bangunan," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Rapat Kerja Badan Anggaran DPR RI, Selasa (30/5).
Dia memperkirakan ekspor tetap tumbuh positif sejalan dengan kenaikan permintaan global. Dengan berbagai indikasi tersebut, bank sentral memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun depan 4,7%-5,5% , lebih tinggi dari tahun ini yang diperkirakan 4,5%-5,2%.
Kenaikan harga-harga diperkirakan semakin terkendali. Perkiraan bank sentral antara 1,5%-3,5% , lebih rendah dari perkiraan tahun ini 2%-4%. Optimisme tersebut seiring dampak kebijakan kenaikan suku bunga, upaya stabilisasi rupiah sehingga menekan imported inflation, serta sinergi BI dengan pemerintah mengendalikan inflasi pangan.
Dari sisi nilai tukar rupiah juga diperkirakan masih akan menguat pada tahun depan. BI memperkirakan rata-rata rupiah tahun depan di rentang Rp 14.600-Rp 15.100 per dolar AS. Perkiraan tersebut lebih kuat dibandingkan rata-rata tahun ini yang diperkirakan Rp 14.800-Rp 15.200 per dolar AS.
"BI akan terus berkomitmen menjaga Stabilitas nilai tukar dengan berbagai langkah termasuk melakukan intervensi di pasar valas, bersama menteri keuangan menstabilkan pasar SBN, bahkan terus meningkatkan devisa hasil ekspor melalui instrumen kami deposito di rekrning khusus," kata Perry.
Optimisme terhadap perekonomian domestik tahun depan sejalan dengan ekonomi global yang juga diramal lebih baik. Perkiraan BI terhadap pertumbuhan ekonomi dunia tahun depan sebesar 2,8%, lebih tinggi 0,1 poin persentase dibandingkan perkiraan tahun ini.
Inflasi global juga ada kecenderungan menurun khususnya di negara berkembang. Sementara, tekanan inflasi di negara maju kemungkinan turun lebih lambat karena masih ketatnya pasar tenaga kerja dan gangguan dari sisi pasokan.
"Hal yang menjadi masalah adalah kondisi di sektor keuangan AS, setelah kegagalan bank regional disana dan blm ada kepastian penyelesaian debt ceiling di AS yang menimbulkan risiko pada pasar keangan global yang meningkat saat ini," kata Perry.