Penerimaan Pajak Semakin Lesu karena Harga Komoditas Turun
Pemerintah mencatat, penerimaan pajak dalam lima bulan pertama tahun ini mencapai Rp 830,29 triliun. Sekalipun masih tumbuh dua digit, Kementerian Keuangan mencatat pertumbuhannya terus menurun akibat melemahnya harga komoditas.
Penerimaan pajak ini tumbuh 17,7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Namun, pertumbuhan tersebut jauh lebih rendah dibandingkan tahun lalu yang mencapai 53,5% karena ledakan harga komoditas.
"Kinerja pertumbuhan per bulan maupun kumulatif memang menunjukkan pertumbuhan penerimaan pajak memang semakin melandai atau menurun, tidak sekuat awal tahun," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers daring, Senin (26/6).
Penerimaan pajak masih mampu tumbuh 48,6% pada Januari 2023 dibandingkan bulan sebelumnya. Namun, pertumbuhan penerimaan pajak hanya mencapai 2,9% pada Mei 2023 dibandingkan bulan sebelumnya. Ini melanjutkan pertumbuhan April secara bulanan yang juga sudah rendah yakni 4,8%. Pertumbuhan secara tahunan juga terus menyusut.
Dalam bahan paparan Sri Mulyani, dijelaskan bahwa kinerja penerimaan pajak dalam dua bulan terakhir melambat ke pertumbuhan satu digit karena faktor penurunan harga komoditas dan perlambatan impor.
Kemenkeu melihat penerimaan pajak masih akan termoderasi. Salah satu faktor yang memengaruhi adalah kebijakan tax amnesty jilid II yang tidak terulang. Di sisi lain, penerimaan pajak juga akan mengikuti fluktuasi konsumsi, belanja pemerintah, impor dan harga komoditas.
Perlambatan pertumbuhan penerimaan pajak terjadi di semua jenis pajak. Setoran pajak penghasilan (PPh) pasal 21 alias pajak karyawan selama lima bulan pertama tahun ini tumbuh 16,7%, lebih rendah dibandingkan tahun lalu 22,4%.
Setoran PPh Badan, yang menyumbang hampir sepertiga penerimaan pajak nasional juga melambat. Pertumbuhannya mencapai 24,8% pada tahun ini, berkali lipat lebih rendah dari tahun lalu sebesar 127,5%. Setoran PPh final bahkan negatif 10,5% dari tahun lalu masih bisa tumbuh 15,5%.
Jenis pajak yang masih tumbuh cukup tinggi yakni Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam negeri sebesar 32,5%. Kinerja itu relatif tidak turun jauh dibandingkan pertumbuhan tahun lalu sebesar 34,3% karena konsumsi dalam negeri yang membaik dan penyesuaian tarif PPN menjadi 11%. Setoran PPN dalam negeri ini menyumbang seperlima dari total penerimaan pajak nasional.
Berdasarkan sektoralnya, setoran pajak dari mayoritas lapangan usaha tumbuh melambat. Industri pengolahan pengolahan misalnya, dari pertumbuhan 51% tahun lalu menjadi hanya 9,4% pada tahun ini. Demikian juga pertumbuhan pajak sektor perdagangan yang melambat dari 61,6% menjadi 9,3%. Namun, Sri Mulyani menyebut salah satu penyebabnya adalah basis pertumbuhan tahun lalu yang sudah sangat tinggi.
Di sisi lain, setoran pajak dari sektor transportasi dan pergudangan menguat cukup tajam tahun ini. Hal ini sejalan dengan meningkatnya mobilitas dan perjalanan wisata. Penerimaan pajak di sektor jasa juga tumbuh kuat karena meningkatnya permintaan atas jasa seiring pemulihan ekonomi.