IMF Minta Indonesia Cabut Larangan Ekspor Komoditas
Dana Moneter Internasional atau IMF meminta Indonesia secara bertahap mencabut sejumlah kebijakan larangan ekspor komoditas. Jokowi telah melarang ekspor beberapa komoditas, salah satunya nikel dengan tujuan menambah nilai tambah ekonomi melalui kebijakan hilirisasi.
Dalam dokumen konsultasi staf IMF dengan Indonesia, Artikel IV, lembaga tersebut memberi sejumlah rekomendasi kebijakan utama bagi Indonesia, salah satunya terkait hilirisasi. IMF menilai kebijakan industri harus dirancang dengan cara yang tidak menghalangi persaingan dan inovasi.
"Dalam konteks ini, pihak berwenang (regulator di Indonesia) perlu mempertimbangkan kebijakan domestik untuk mencapai tujuan peningkatan nilai tambah dari sisi produksi, sembari menghapus pembatasan ekspor secara bertahap dan tidak memperluas pembatasan pada komoditas lain," tulis IMF dalam dokumen tersebut dikutip Rabu (28/6).
Lembaga yang berbasis di Washington DC, Amerika Serikat itu juga meminta pemerintahh Indonesia untuk mengkaji lagi terkait biaya atau konsekuensi jangka panjang yang timbul dari kebijakan tersebut. Ini termasuk perlu melihat dampak negatifnya terhadap negara lain.
Analisis cost-benefit atau konsekuensi biaya dan manfaat perlu rutin dilakukan. Analisis ini diperlukan sebagai bahan pertimbangan sejauh mana keberhasilan kebijakan hilirisasi tersebut dan apakah perlu diperluas ke komoditas mineral lainnya.
Berdasarkan asesmen IMF, kebijakan hilirisasi saat ini memiliki konsekuensi terhadap potensi penerimaan negara yang hilang relatif kecil. Sektor pertambangan selama ini hanya menyerap rata-rata 1% dari insentif pajak yang disediakan pemerintah. Sektor industri pengolahan, termasuk di dalamnya kegiatan hilirisasi, menyumbang rata-rata 24% dari insentif atau sekitar 0,4% PDB.
Meski dampaknya terhadap keuangan negara yang terbatas, tetapi pemerintah diminta tetap memonitor efeknya ke depan sebagai bagian dari asesmen cost-benefit dari hilirisasi ini.
Dalam dokumen tersebut, IMF juga membuat kajian terkait dampak kebijakan hilirisasi itu bagi ekonomi dan kesejahteraan. Sejak pemerintah kembali melarang ekspor nikel mentah pada awal 2020, ekspor produk turunan nikel Indonesia menolak dari US$ 4,5 miliar pada 2019 menjadi US$ 19,6 miliar pada tahun lalu.
Meski demikian, staf IMF melihat kenaikan itu tidak terjadi semata karena kenaikan nilai tambah karena hilirisasi. Ada faktor lain seperti ledakan harga komoditas serta kenaikan volume ekspor yang lebih tinggi. Selain itu, dampaknya terhadap lapangan kerja juga dinilai masih relatif kecil untuk ukuran ekonomi Indonesia yang besar.
Penciptaan tenaga kerja formal kebanyakan terjadi di daerah yang memiliki tingkat pendapatan rendah. "Selain itu, ada biaya yang sulit dihitung saat ini tetapi perlu dipantau dan diperhitungkan dalam asesmen cost-benefit," kata IMF.
Biaya itu mencakup dampaknya terhadap penerimaan negara yang hilang, risiko misalokasi sumber daya, rent seeking alias suap dalam ekspor, serta dampaknya terhadap kenaikan harga komoditas di level global, termasuk peringatan potensi retaliasi perdagangan dari negara lain.
Seperti diketahui, pemerintah semakin gencar untuk mempromosikan kebijakan hilirisasi sumber daya alam untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi Indonesia. Ini dilakukan melalui larangan ekspor beberapa komoditas mentah, yang sudah dimulai seperti nikel dan terbaru larangan ekspor bauksit mulai awal bulan ini.