Sri Mulyani-BI Waspadai Dampak Rusia Keluar dari Perjanjian Laut Hitam
Rusia memutuskan keluar dari kesepakatan Laut Hitam, yang memungkinkan Ukraina bisa mengekspor biji-bijian melalui Laut Hitam dengan aman. Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Ekonom Bank Indonesia Abdul Majid Ikram menyebut keputusan itu akan menjadi salah satu tantangan inflasi Indonesia ke depan
"Ini berarti pada paruh kedua tahun ini kita akan sangat dipengaruhi ketidakpastian dari komoditas, hampir mirip seperti tahun 2022," kata Sri Mulyani dalam seremoni Penyerahan Insentif Fiskal Kinerja Pengendalian Inflasi di Daerah, Senin (31/7).
Fenomena di level global itu disebut akan berdampak ke dalam negeri. Ekspor biji-bijian dari Ukraina yang sangat penting untuk beberapa produk di Indonesia seperti gandum dapat kembali terganggu.
Menurut Sri Mulyani, risiko di paruh kedua tahun ini akan semakin besar karena terdapat ancaman El Nino pada di saat yang sama. Adapun fenomena El Nino berisiko mengerek kenaikan harga-harga pangan karena terjadi kekeringan.
Kekhawatiran serupa disampaikan Ekonom Bank Indonesia Abdul Majid Ikram yang hadir dalam acara yang sama dengan Sri Mulyani pagi ini. Ia mengatakan, keluarnya Rusia dari perjanjian itu menjadi salah satu ketidakpastian global yang akan menjadi tantangan inflasi Indonesia ke depan.
"Saat ini ternyata Rusia sudah mulai melakukan pembatasan terhadap jalur distribusi dari Ukraina, ini berdampak pada kesulitan untuk impor gandum," kata dia.
Gubernur BI Perry Warjiyo pada pekan lalu sebetulnya telah mengatakan keputusan Rusia keluar dari perjanjian tentu berpengaruh terhadap kenaikan inflasi di level global. Meski demikian, ia memperkirakan, dampaknya tidak akan signifikan karena pada saat yang sama harga komoditas global dalam tren penurunan.
Adapun Black Sea Grain Initiative merupakan perjanjian yang menjamin Ukraina untuk memasok ekspor biji-bijian dengan aman selama perang dengan Rusia. Namun demikian, perjanjian tersebut berakhir pada pertengahan bulan ini dan Rusia enggan memperpanjang kesepakatan tersebut. Padahal Rusia dan Ukraina merupakan produsen utama biji-bijian dunia, termasuk gandum, biji bunga matahari, dan jagung.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, Eddy Martono mengatakan, pasokan biji-bijian yang berkurang akan menyebabkan suplai minyak nabati merosot. Kondisi tersebut bisa menyebabkan harga minyak nabati naik, termasuk harga CPO.
"Ini seharusnya juga akan meningkatkan permintaan minyak sawit Indonesia naik," ujarnya saat dihubungi Katadata.co.id, Jumat (21/7).