Potret Kemiskinan di Tengah Melesatnya Ekonomi Daerah Penghasil Nikel
Dua daerah penghasil nikel terbesar di Indonesia, Maluku Utara dan Sulawesi Tengah mencatatkan pertumbuhan ekonomi tertinggi pada kuartal kedua tahun ini. Ekonomi Maluku Utara tumbuh 23,89% dibandingkan kuartal kedua tahun lalu, sedangkan Sulawesi Tengah tumbuh 11,86%.
Ekonomi Maluku Utara tumbuh dua digit sejak 2021. Perekonomian wilayah tersebut tumbuh 16% sepanjang 2021 dan meningkat menjadi 22,94% pada sepanjang 2022. Melesatnya pertumbuhan ekonomi di Maluku Utara tak lepas dari beroperasinya sejumlah pabrik nikel di wilayah tersebut. Salah satunya adalah pabrik nikel terbesar di dunia yang kelola PT Halmahera Persada Lygend (HPAL) yang resmi beroperasi pada Juni 2021.
Perusahaan tersebut merupakan unit bisnis dari Harita Nickel yang beroperasi di Kawasan Industri Pulau Obi, Maluku Utara. Selain itu, terdapat beberapa perusahaan penambang dan pengelola nikel lainnya, seperti PT Weda Bay Nikel.
Kondisi serupa juga terjadi pada Sulawesi Tengah. Perekonomian daerah tersebut tumbuh dua digit sejak 2021. Ekonomi Sulawesi Tengah tumbuh 11,7% pada sepanjang 2021 dan 15,17% pada sepanjang 2022.
Pertumbuhan ekonomi provinsi dengan ibu kota Palu ini juga tak lepas dari operasional pabrik nikel di provinsi tersebut. Sulawesi Tengah juga memiliki Kawasan Industri Morowali yang fokus pada industri pengolahan nikel. Salah satu yang terbesar adalah pabrik yang dibangun PT Vale Indonesia Tbk mulai tahun 2021.
Lantas bagaimana dengan kesejahteraan penduduknya?
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pernah mengatakan bahwa hilirisasi industri nikel berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengurangi angka kemiskinan di Indonesia.
“Hilirisasi mendorong investasi berkualitas, terutama di bagian timur Indonesia,” ujar Luhut dalam acara Nickel Conference CNBC di Ballroom Kempinski, Jakarta, Selasa (25/7/2023), seperti diwartakan Tempo.co.
Hilirisasi memang berhasil mendorong ekonomi di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara. Perekonomian yang melesat di kedua wilayah ini pun mendorong produk domestik regional bruto atau PDRB per kapitanya melesat dalam dua tahun terakhir.
Pendapatan per kapita Maluku Utara naik dari Rp 33,1 juta per tahun atau Rp 2,75 juta per bulan pada 2020 menjadi Rp 40,1 juta per tahun atau Rp 3,34 juta per bulan pada 2021 dan Rp 53,7 juta per tahun atau Rp 4,47 juta per bulan pada 2022. Dengan demikian, rata-rata pendapatan per kapita/bulan di Maluku Utara naik dari Rp 2,75 juta pada 2021 menjadi Rp 3,34 juta per bulan pada 2022 dan Rp 4,47 juta per bulan pada 2023
Sementara pendapatan per kapita Sulawesi Tengah naik dari Rp 66,31 juta pada 2020 menjadi Rp 81,85 juta pada 2021 dan Rp 105,55 juta pada 2022. Dengan demikian, rata--rata pendapatan per kapita per bulan di Sulawesi Tengah naik dari Rp 5,5 juta pada 2020 menjadi Rp 6,8 juta pada 2021 dan Rp 8,79 juta pada 2022.
Tingkat Kemiskinan Naik
Namun, pertumbuhan ekonomi yang melesat di kedua wilayah tersebut faktanya dengan penurunan tingkat kemiskinan yang signifikan. Kemiskinan di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara justru meningkat. Berdasarkan data tingkat kemiskinan terbaru yang dirilis BPS pada Juli 2023, kemiskinan di Sulawesi Tengah naik dari 12,33% pada Maret 2022 menjadi 12,41% pada Maret 2023, tetapi masih lebih rendah dibandingkan Maret 2021 sebesar 13%.
Pola serupa juga terjadi di Maluku Utara. Tingkat kemiskinan di Maluku Utara naik dari Maret 2022 sebesar 6,23% menjadi 6,46% pada Maret 2023, tetapi masih lebih rendah dibandingkan Maret 2021 sebesar 6,89%.
Meski demikian, ketimpangan antara si kaya dan si miskin yang tercermin dari angka rasio gini di Sulawesi Tengah turun dalam dua tahun terakhir dari 0,316 pada 2021 menjadi 0,308 pada 2022 dan 0,304 pada 2023. Sementara itu, rasio gini di Maluku Utara sempat turun dari 0,300 pada 2021 menjadi 0,279 pada 2022, tetapi kembali naik menjadi 0,300 pada 2023.