Bappenas: Upaya Dekarbonisasi Tak Boleh Korbankan Pertumbuhan Ekonomi
Pemerintah tengah berupaya melakukan dekarbonisasi ekonomi. Namun Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menilai upaya tersebut tidak boleh sampai mengorbankan pertumbuhan ekonomi.
Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas Medrilzam mengatakan, upaya pemerintah dalam mencapai energi bersih harus selaras dengan pencapaian pertumbuhan ekonomi yang setara dengan negara maju.
"Growth tidak bisa hanya di kisaran 5% per tahun. Kalau di angka itu, tidak akan tercapai Indonesia jadi negara maju. lima besar PDB terbesar di dunia. Growth kita harus di kisaran 6%-7%," ujar Medrilzam dalam sesi diskusi yang digelar oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) di Jakarta, Kamis (10/8).
Hal tersebut perlu dicapai, mengingat pemerintah yang tengah serius menjalankan program-program transisi energi. Salah satu tujuan jangka panjangnya yaitu dengan tercapainya Net Zero Emissions (NZE) pada 2060.
Selain itu, Medrilzam mengatakan hal tersebut juga didorong dari adanya target penurunan intensitas emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 93,5% agar bisa menuju NZE. Pasalnya, NZE sendiri masuk dalam sasaran nomor 5 pada visi Indonesia 2045.
Disisi lain, Medrilzam mengatakan, dengan mengikuti skenario pembangunan pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2020-2045 sektor industri akan didorong untuk menciptakan nilai tambah. Menurut dia, jika sektor industri menjadi prioritas, maka sektor energi juga harus digenjot sebagai penyokong industri.
Dengan demikian dia menilai, bahwa spirit RPJPN sudah bukan lagi reformasi, melainkan transformasi. Apalagi untuk sektor energi, transformasi harus sesegera mungkin dilakukan agar kadar emisi di Indonesia tidak semakin besar.
Salah satunya dengan mendongkrak porsi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi primer yang saat ini baru berada di angka 12,5%.
"Kalau industri besar-besaran didorong, pasti energi juga. Lalu kalau masih seperti ini saja, emisinya tentu akan lebih besar, ada hitung-hitungannya. Kami dalam RPJPN tentu saja berhati-hati dalam mengkalkulasi setiap skenario pertumbuhan ekonomi," ujarnya.
Dia mengatakan, secara menyeluruh rencana penurunan intensitas emisi maupun upaya menekan emisi GRK menjadi bagian dari agenda transformasi ekonomi dalam kebijakan ekonomi hijau. Meski hal itu terdiri dari banyak faktor, menurutnya ekonomi hijau itu menjadi 'jenderal perang' dari transformasi ekonomi nasional.
"Tidak mungkin kita katakan urusan menurunkan emisi hanya sekadar urusan sektor energi atau hutan atau industri saja, bohong. Jadi, kita harus melihat secara keseluruhan bagaimana skenario pembangunan yang telah disepakati berbagai pihak," kata dia.
Dengan begitu, jika membahas seputar penurunan emisi, jangan hanya melihat dari sisi penurunan emisi GRK nya saja, tetapi juga harus dilihat sektor-sektor lainnya yang berpotensi bisa mendorong pertumbuhan ekonomi sesuai dengan target yang telah ditentukan.
"Jangan sampai emisi turun, ekonominya juga turun. Jadi dua-duanya ini harus dilihat, ekonomi naik, emisi turun," kata dia.
Sebagai informasi, penurunan emisi karbon di Indonesia selalu memenuhi target dalam tiga tahun terakhir. Penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) berkontribusi mengurangi emisi.
Pada 2021, Indonesia berhasil mengurangi emisi sebesar 69,5 juta ton CO2 ekuivalen (CO2e) menurut data Kementerian ESDM. Pengurangan emisi ini melebihi target 67 juta ton CO2e.
Pada 2019, Indonesia berhasil mengurangi 54,8 juta ton CO2e. Ini melebihi target yang ditetapkan sebesar 51 juta ton CO2e. Hal yang sama terjadi pada 2020. Indonesia berhasil mengurangi 64,4 juta ton CO2e, melebihi target 58 juta ton CO2e.