Kemenkeu Tegaskan Tak Ada Penurunan Tarif Bea Ekspor untuk Freeport
Kementerian Keuangan alias Kemenkeu menegaskan tak akan ada mekanisme perubahan besaran tarif bea ekspor konsentrat tembaga kepada PT Freeport Indonesia (PFTI) seiring rencana perusahaan untuk mengajukan banding atas penetapan tarif tersebut.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Fabrio Nathan Kacaribu mengatakan, regulasi penetapan bea keluar bersifat final dan tetap. Adapun regulasi mengenai pengenaan tarif bea keluar tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 71 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas PMK Nomor 39 Tahun 2022 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.
“Apa yang sudah ada sekarang ikuti saja. Regulasi tersebut belaku tetap dan tidak ada perubahan, ini sejalan dengan arahan pemerintah untuk mendorong hilirisasi mineral,” kata Febrio di Kantor Direktorat Jenderal Pajak Jakarta, Rabu (16/8).
PTFI mengajukan mekanisme banding atas kebijakan Kementerian Keuangan yang menetapkan tarif bea keluar terhadap ekspor 1,7 juta metrik ton konsentrat tembaga hingga Mei 2024.
Menurut PTFI, pengajuan banding tarif bea keluar merupakan opsi tertulis di dalam Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang disepakati antara Freeport-McMoran Inc sebagai pemegang saham PTFI dan pemerintah pada 2018 lalu.
Jika mengacu pada progress pembangunan smelter Gresik, PMK 71 Tahun 2023 mengatur tarif bea keluar konsentrat tembaga dengan kadar lebih dari atau sama dengan 15%, dikenakan tarif bea keluar sebesar 7,5%. Hitungan itu mengacu pada capaian pembangunan fasilitas smelter Gresik yang mencapai 75% atau berada di golongan dua.
PTFI menilai pengenaan bea keluar dapat mengurangi kredit kas bersih perusahaan sejumlah US$ 0,19 per pon tembaga untuk tahun 2023. Menurut mereka, kondisi tersebut dapat menurunkan kinerja pendapatan perusahaan, mengingat Freeport juga telah membayar denda administrasi terkait keterlamatan pembangunan smelter Gresik senilai US$ 57 juta.
Menanggapi hal tersebut, Febrio mengaku pihak Kemenkeu belum berencana untuk membuka kontak dengan PTFI ihwal pengajuan keberatan besaran tarif bea ekspor. Dia menilai, tarif bea ekspor yang diatur sudah sejalan dengan rencana pemerintah untuk mempercepat program hilirsasi mineral.
“Saya rasa tidak perlu bertemu, ini sudah jelas persyaratannya. Kami ingin agar program hilirisasi dan pembangunan smelter bisa lebih cepat,” ujar Febrio.
Sebelumnya Juru Bicara PT Freeport Indonesia Katri Krisnati mengatakan, hasil perundingan tarif bea keluar merupakan salah satu ketentuan yang diatur dalam IUPK 2018. Selain mengatur mekanisme penetapan bea keluar, IUPK juga mengatur proses divestasi saham PFTI ke pemerintah melalui peningkatan porsi kepemilikan saham PTFI yang dimiliki PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) menjadi 51,23%, dari sebelumnya 9,36%.
Pada perjanjian tersebut, Inalum mengeluarkan dana sebesar US$ 3,85 miliar untuk membeli hak partisipasi Rio Tinto di PTFI dan 100% saham Freeport-McMoran di PT Indocoper Investama, yang memiliki 9,36% saham di PTFI.
"Wajar bagi setiap pelaku usaha untuk menempuh mekanisme keberatan dan banding tersebut apabila ada perbedaan pandangan antara otoritas kepabeanan dengan pelaku usaha yang bersangkutan dalam penerapan peraturan kepabeanan," kata Katri lewat pesan singkat pada Selasa (8/8).
Lebih lanjut, kata Katri, proses penerapan regulasi saat itu mengakomodir mekanisme pengajuan keberatan dan banding terhadap penghitungan penetapan bea keluar. Menurutnya, langkah itu merupakan wadah dalam rangka mewujudkan kebijakan kepabeanan yang obyektif dan akurat.
"Sehubungan dengan konteks di atas, kami memahami adanya kemungkinan pengajuan keberatan dan banding. Namun kami tetap berharap pemerintah senantiasa menerapkan ketentuan bea keluar bagi PTFI sesuai dengan IUPK yang sudah disetujui bersama," ujar Katri.