Sri Mulyani Sebut Anjloknya Rupiah Belum Ganggu Subsidi Energi
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) saat ini belum berdampak signifikan terhadap perhitungan subsidi energi tahun ini.
Kurs rupiah terhadap dolar AS dalam sepekan terakhir terpantau anjlok ke level Rp 15.938 per dolar AS pada Senin (23/10). Angka tersebut surut 1,6% dari nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada awal pekan sebelumnya di Rp 15.682 per dolar AS.
Meski demikian, Sri Mulyani mulai mewaspadai pergerakan produksi minyak di kawasan Timur Tengah. Kondisi yang dimaksud oleh Sri Mulyani adalah tekanan pengurangan suplai minyak oleh organisasi negara pengekspor minyak (OPEC) dan Rusia hingga akhir tahun ini hingga sentimen perang Israel-Hamas.
"Sekarang pemerintah sedang melihat perkembangan di timur tengah yang masih kita jaga dan waspadai, karena di sana konsentrasi produksi minyak," kata Sri Mulyani di Istana Merdeka Jakarta pada Senin (23/10).
Dia menegaskan bahwa pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang cenderung konservatif saat ini belum mengarah kepada prediksi subsidi energi yang membengkak. "Semua kami pantau, dari harga minyak, kurs, suku bunga. Pemerintah akan lihat bagaimana penyesuainnya terhadap APBN," ujarnya.
Dalam anggaran belanja pemerintah pusat 2023, alokasi subsidi energi dipecah menjadi tiga sektor. Besaran jatah subsidi elpiji melon 3 kilogram (kg) menjadi yang terbesar dari seluruh suntikan subsidi energi pada 2023, yakni 117,84 triliun, mengalahkah subsidi Pertalite senilai Rp 21,54 triliun maupun subsidi listrik PLN Rp 72,57 triliun.
Mengapa dolar AS kian menguat
Pada kesempatan tersebut, Sri Mulyani menjelaskan pelemahan rupiah terhadap dolar AS dipicu oleh kebijakan moneter suku bunga higher for longer yang diterapkan Bank Sentral AS, The Federal Reserve.
Menurutnya, fenomena risiko tingkat suku bunga global yang bertahan pada level yang tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama itu membuat banyak arus modal kembali masuk ke AS.
"Mereka masih menghadapi inflasi yang cukup tertahan tinggi dan mereka memberi sinyal higher for longer yang menyebabkan capital flowing back ke AS," ujar Sri Mulyani.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menjelaskan, kebijakan higher for longer yang diterapkan oleh AS dan negara Eropa memicu kenaikan indeks dolas AS (DYX) berada di posisi rata-rata 106 poin. Angka tersebut lebih tinggi dari prediksi Bank Indonesia di 93 poin.
Oleh sebab itu, dari sisi dalam negeri, pemerintah dan Bank Indonesia akan terus berkoordinasi agar kebijakan fiskal dan moneter tetap sinkron. Ini agar dampak dari situasi yang dipicu AS ini bisa dimitigasi.
"Baik terhadap nilai tukar, inflasi, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sistem keuangan," kata Sri Mulyani.