Cerita Sri Mulyani Pensiunkan PLTU-1 Cirebon Demi Tangani Krisis Iklim
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan Indonesia berkomitmen mendukung penanganan krisis iklim global melalui mekanisme transisi keuangan hijau dan kebijakan lainnya.
Dia mencontohkan, upaya pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cirebon-1. Pembangkit listrik ini memiliki kapasitas 660 MW dan fasilitas pengembangan proyek untuk Pumped Storage di Sumatra (2x250 MW) dan Grindulu (4x250 MW).
Untuk mengimplementasikan agenda uji coba tersebut terdapat banyak tantangan, terutama dari segi pembiayaan. Oleh karenanya, lanjut dia, peran pembiayaan campuran (blended finance) menjadi sangat penting untuk mendukung terwujudnya transisi energi.
"Di Indonesia, kita punya (proyek pembangkit listrik) 35 ribu megawatt, 60% berbasis batu bara. Peran pembiayaan campuran, dalam hal ini filantropi, swasta, Bank Pembangunan Multilateral, termasuk dengan uang negara dan BUMN menjadi sangat penting untuk dapat mewujudkan komitmen ini,” ujar Sri Mulyani dari keterangan resmi dikutip Rabu (6/12).
Melalui rencana tersebut, maka PLTU Cirebon-1 hanya akan beroperasi sampai dengan 2035, atau tujuh tahun lebih cepat dari rencana awal yaitu pada Juli 2042. Transisi ini akan dirampung pada paruh pertama 2024.
Rencana tersebut berdasarkan hasil diskusi dengan pemilik PLTU serta pemerintah Indonesia di bawah program Mekanisme Transisi Energi (ETM) dari ADB. ETM merupakan pembiayaan campuran untuk mempercepat transisi dari energi fosil ke energi bersih.
Berdasarkan situ resmi perusahaan, PLTU ini dioperasikan oleh PT Cirebon Electric Power (CEP). Perusahaan ini didirikan pada 2007 oleh konsorsium multinasional di industri energi dan infrastruktur Asia seperti Marubeni Corporation, Indika Energy, Korean Midland Power (KOMIPO), dan Samtan Corporation.
Strategi Penanganan Krisis Iklim
Sri Mulyani menyampaikan, bahwa Indonesia telah memiliki komitmen untuk mengurangi karbondioksida (CO2) dalam Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (Nationally Determined Contribution/NDC). Biaya yang dibutuhkan Indonesia hingga 2030 yakni US$ 281 miliar.
"Jadi ini sangat besar dan sangat mahal. Kalau untuk mencapai emisi nol bersih pada 2060, biayanya bisa dua kali lipat yaitu lebih dari US$ 500 miliar,” kata Sri Mulyani.
Di sisi lain, sebagai menteri keuangan, Sri Mulyani menuturkan, berbagai regulasi untuk mendukung agenda perubahan iklim dari sisi keuangan dan kebijakan fiskal telah dirumuskan, seperti melalui penandaan anggaran (budget tagging) dan penerbitan sukuk hijau.
Indonesia juga memperkenalkan tiga agenda keuangan berkelanjutan, yakni pembentukan Mekanisme Transisi Energi (Energy Transition Mechanisms/ETM), Taksonomi Asean untuk Keuangan Berkelanjutan (ASEAN Taxonomy for Sustainable Finance/ATSF) versi 2, dan Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan Indonesia (Indonesia Just Energy Transition Partnership/JETP).
Mekanisme transisi energi diperkenalkan oleh Indonesia sebagai bentuk pembiayaan campuran untuk transisi ekonomi hijau yang bertujuan meningkatkan peran energi baru terbarukan dan mengendalikan peran energi dari bahan bakar fosil.
Menurutnya, transisi harus dirancang untuk Indonesia karena kaya akan sumber daya alam, sehingga harus dipastikan bahwa basis batubara yang kini menjadi porsi dominan energi bisa diubah menjadi energi terbarukan.
Namun, cara menarik lebih banyak partisipasi sektor swasta dalam mendanai transisi menjadi hal penting karena tanpa pendanaan, agenda iklim hanya menjadi sebuah agenda.
"Kita dapat mewujudkannya ketika memiliki sumber daya, sehingga sumber daya dalam hal ini menjadi sangat penting,” kata Menkeu.