4 Tantangan Pembiayaan Hijau di 2024, dari Pemilu hingga Aturan OJK
Memasuki tahun politik, pembiayaan hijau akan dihadapi oleh sejumlah tantangan. Direktur CELIOS Bhima Yudhistira menyebutkan, ada empat tantangan yang dihadapi dalam perkembangan pembiayaan hijau sepanjang tahun 2024, termasuk Pemilu.
Pertama, masing-masing calon presiden (capres) memiliki komitmen transisi energi dengan model teknologi yang berbeda-beda. Sehingga, belum jelas arah kebijakan 5 tahun ke depan yang menyebabkan para investor mempertimbangkan fakor resiko.
“Ada yang solar panel, biomass, gheothermal, bahkan ada yang memiliki komitmen terhadap industri nuklir. Sehingga belum jelasnya arah, kalau dia (investor) punya pembiayaan untuk biothermal tiba-tiba yang dimplementasikan solar panel, itu ada resiko kredit macet,” ujar Bhima kepada Katadata.co.id di Jakarta, Selasa (19/12).
Kedua, Bhima menilai para investor atau penanam modal juga mempertimbangkan kebijakan taksonomi hijau yang masih direvisi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait proyek gasifikasi atau mengkonversi batu bara menjadi bahan bakar gas.
“Apakah akan dipaksa dimasukan dalam kuning atau hijau jadi belum ada konfirmasi juga yang membuat [investor] internasional dan domestik bingung,” ujar Bhima.
Sebagai informasi, Taksonomi Hijau Indonesia adalah klasifikasi kegiatan ekonomi berdasarkan penilaian atas aktivitas bisnis sektor usaha, apakah memenuhi standar perlindungan lingkungan dan tata kelola yang baik atau sebaliknya.
Ketiga, Bhima menilai kebijakan moneter Indonesia belum ada yang mendukung rasio intermediasi makroprudensial. Misalnya, belum terdapat cap credit minimum ke sektor hijau.
Cap credit adalah batasan suku bunga kredit dengan suku bunga variabel. Ini adalah tingkat bunga tertinggi yang harus dibayar oleh peminjam dan juga tingkat bunga tertinggi yang diperoleh kreditur. Ketentuan batasan suku bunga akan dituangkan dalam kontrak pinjaman atau prospektus investasi.
Keempat, pembiayaan ke sektor energi terbarukan kepada masyarakat juga dinilai masih minim. Hal ini disebabkan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang masih memonopoli pembiayaan transisi energi.
“Makanya masih kecil sekali porsi pembiayaan transisi energi yang berbasis komunitas. Padahal KUR harusnya bisa masuk ke situ. Namun khawatir kebijakan dari ketanagalistrikan kita belum mengakomodir,” ujar Bhima.
Survei Transisi Ekonomi Hijau
Dalam studi Policy Brief: Dampak Transisi Ekonomi Hijau terhadap Perekonomian, Pemerataan, dan Kesejahteraan Indonesia yang dilakukan oleh Center of Economics and Law Studies (CELIOS) dan Greenpeace Indonesia mengungkapkan sejumlah temuan.
Di antaranya, pembangunan ekonomi dengan paradigma mendorong transisi energi yang lebih bersih atau menjauhkan dari batu bara maupun energi fosil mampu menciptakan output ekonomi yang besar.
Selain itu, pengalihan pembiayaan perbankan dari sektor pertambangan dan penggalian (ekstraktif) akan mendorong sektor-sektor yang lebih berkelanjutan mendapatkan aliran pendanaan untuk investasi baru.
"Salah satu bentuk kebijakan untuk mempercepat pengalihan pembiayaan perbankan adalah dengan melakukan revisi taksonomi hijau dimana sektor pertambangan, pembangunan PLTU batu bara dikeluarkan dari kategori transisi dan hijau," kata Bhima.