Bank Dunia Ramal Ekonomi 2024 Lebih Suram, Efek Perang hingga Iklim
Bank Dunia atau World Bank memperkirakan pertumbuhan ekonomi global kembali melambat menjadi 2,4% pada tahun 2024. Perlambatan ekonomi ini seiring kebijakan moneter yang ketat hingga kondisi geopolitik yang bergejolak, termasuk perang di Timur Tengah sehingga menyebabkan perdagangan dan investasi global akan lesu.
Perkiraan ini muncul dalam laporan January Global Economic Prospects 2024 yang baru dirilis Bank Dunia pada Selasa (9/1). Dengan perkiraan tersebut, maka pertumbuhan ekonomi dunia melambat selama tiga tahun berturut-turut.
Ekonomi dunia pada 2021 melonjak 6,2%, setelah terkontraksi pada tahun sebelumnya akibat pandemi Covid-19. Namun, pertumbuhan ekonomi global melambat menjadi 3% pada 2022 dan diperkirakan kembali melambat menjadi 2,6% pada 2023 dan 2,4% pada 2024.
Laporan Bank Dunia memperkirakan, perlambatan ekonomi dunia melambat pada tahun depan karena dampak kebijakan moneter ketat yang ditempuh negara-negara maju untuk mengendalikan inflasi. Perdagangan dan investasi global juga diperkirakan lesu.
Perlambatan ekonomi global juga dipengaruhi oleh memanasnya konflik geopolitik, terutama di Timur Tengah yang juga menyebabkan gangguan di pasar komoditas. Selain itu, perlambatan dipengaruhi tekanan di pasar keuangan juga meningkat seiring kenaikan utang di sejumlah negara dan tingginya biaya pinjaman, ekonomi Cina yang masih lemah, hingga perubahan iklim.
“Bank sentral negara-negara berkembang perlu memastikan bahwa ekspektasi inflasi tetap terjaga dengan baik dan sistem keuangan tetap tangguh,” demikian dikuti dari laporan Bank Dunia, Rabu (10/1)..
Bank Dunia juga menyoroti, kenaikan utang pemerintah dan biaya pinjaman membatasi ruang fiskal dan menimbulkan tantangan besar bagi negara-negara berkembang. Risiko ini meningkat, terutama negara-negara berkembang yang memiliki peringkat kredit lemah.
Eksportir komoditas menghadapi tantangan tambahan dalam mengatasi fluktuasi harga komoditas, sehingga perlunya kerangka kebijakan yang kuat.
“Untuk mendorong pertumbuhan jangka panjang, reformasi struktural diperlukan untuk mempercepat investasi, meningkatkan pertumbuhan produktivitas, dan menutup kesenjangan gender di pasar tenaga kerja,” dalam laporannya.