Efek Domino Perlambatan Cina dan AS: Tekan Ekspor hingga Investasi RI

Ferrika Lukmana Sari
19 Januari 2024, 08:22
Ilustrasi ibu dan anak yang berjalan di Tembok Cina
Pexels
Ilustrasi ibu dan anak yang berjalan di Tembok Cina
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Perlambatan ekonomi Cina dan Amerika Serikat (AS) akan memberi efek domino terhadap ekonomi nasional. Hal ini tercermin dari besarnya kontribusi dua negara baik dari sisi perdagangan hingga investasi di tanah air.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira bahkan memperkirakan, dampak perlambatan ekonomi Cina akan sangat signifikan ketimbang konflik Timur Tengah dan perlambatan di negara maju.

"Karena setiap 1% terjadi perlambatan ekonomi Cina, efeknya 0,3% terhadap ekonomi Indonesia. Jadi sangat sensitif, ini berkaitan dengan besarnya porsi ekspor non migas dari Indonesia ke Cina, termasuk hilirisasi produk nikel, bauksit dan tembaga," kata Bhima kepada Katadata.co.id, Kamis (18/1).

Selain ekspor, Indonesia juga bergantung terhadap impor Cina. Bhima mengatakan, impor Cina dibutuhkan sebagai bahan baku industri dalam negeri dan Cina merupakan negara tujuan impor yang paling dominan.

"Ketika ekspornya menurun, maka langsung tercermin dari harga komoditas ekspor unggulan Indonesia yang melemah, melambat, bahkan terkontraksi cukup dalam," ujar Bhima.

Surplus Neraca Perdagangan yang Semu

Tak hanya itu, dari sisi surplus neraca perdagangan juga perlu diperhatikan. Meski beberapa bulan ke depan masih terjadi surplus, tapi bagi Bhima, surplus tersebut hanya bersifat semu.

"Sebenarnya, surplusnya semu, karena ekspor turun dan impor juga mengalami penurunan. Sehingga kualitas suprlus perdagangan juga berdampak," ujar Bhima.

Menurut Bhima, perlambatan juga akan menekan dari sisi nilai tukar rupiah dan membuat stabilitas eksternal Indonesia juga terganggu. Apalagi, besarnya investasi Cina dalam 9 tahun terakhir di Indonesia, khususnya di beberapa proyek pemerintah yang dibiayai oleh bank asal Cina.

"Sehingga efeknya bisa menganggu pelaksanana proyek strategis nasional (PSN), dan juga menganggu dari sisi kelanjutan hilirisasi," kata Bhima.

Di sisi lain, wisatawan asing dari Cina cukup besar sehingga akan mempengaruhi pendapatan devisa negara, ketika terjadi perlambatan ekonomi di Negeri Tirai Bambu tersebut.

Tekan Nilai Tukar Rupiah

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede justru melihat dampak inflasi AS yang berkepanjang akan meningkatkan kembali risiko higher for longer karena ruang pemotongan suku bunga global tertutup sehingga dapat memicu sentimen risk off.

"Tentu ini akan berdampak pada aliran capital inflow ke Indonesia," kata Josua.

Capital inflow atau aliran modal masuk asing merupakan masuknya sejumlah dana dari luar negeri ke dalam suatu negara untuk tujuan investasi.

Di sisi lain, melambatnya ekonomi Cina berdampak pada melemahnya kinerja ekspor dan melebarnya current account defisit (CAD). Kedua hal tersebut dapat mengakibatkan cadang devisa berkurang, sehingga menekan nilai tukar rupiah.

Pertumbuhan RI Akan Lampaui Cina

Bhima memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini hanya kisaran 4,7% yoy sampai 4,9% yoy. Sebab, situasi global berbeda jauh dengan 2023. Pada 2023 masih ada bonanza komoditas dan tahun ini diperkirakan tidak ada lagi.

"Meski ekonomi Indonesia melambat, pertumbuhannya akan lebih tinggi dari proyeksi ekonomi Cina pada tahun ini," ujar Bhima.

Sementara Josua memperkirakan, ekonomi Indonesia tumbuh di kisaran 5% ditopang kuatnya permintaan domestik, inflasi yang terkelola dan belanja pemerintah yang meningkat. Hal ini sejalan dengan pelaksanaan pemilu, investasi yang masih dapat tumbuh serta ditopang oleh PSN dan IKN.

Meski ekonomi tetap tumbuh, Bhima meminta pemerintah lebih fokus kepada pelaku UMKM. Sebab, UMKM akan menjadi motor penggerak dari sisi pengeluaran dan lapangan usaha. Sehingga, pemerintah perlu memastikan stabilitas harga kebutuhan pokok.

Kemudian memberikan stimulus yang lebih berorientasi pada industri padat karya, atau pun UMKM. Bhima meminta pemerintah menunda pajak yang menekan konsumsi seperti rencana kenaikan PPN dari 11% menjadi 12%.

Selain itu, harus hati-hati dalam membatasi subsidi, misalnya pembatasan LPG 3 kg. Terakhir yang perlu diperhatikan adalah kesempatan kerja di dalam negeri, yang salah satunya dengan penetrasi pembiayaan ke UMKM.

"Saya khawatir UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi sekarang sebenarnya dari segmen kecil dan menang sedang tertekan, jika dilihat dari penyaluran kredit yang negatif secara yoy untuk segmen UMKM kecil dan menengah," kata Bhima.

Reporter: Ferrika Lukmana Sari

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...