Pajak Hiburan Naik hingga 75%, Ini Dampaknya ke Pengusaha dan Konsumen

Ferrika Lukmana Sari
24 Januari 2024, 00:51
pajak
ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/agr/wsj.
Pengunjung bernyanyi dengan menerapkan jaga jarak di sebuah gerai karaoke, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Sabtu (4/7/2020). Memasuki tatanan normal baru saat pandemi COVID-19, tempat hiburan di Kabupaten Ciamis kembali dibuka dengan menerapkan protokol kesehatan yang cukup ketat, diantaranya pengunjung wajib memakai masker, karyawan diharuskan memakai pelindung wajah, masker, sarung tangan dan jaga jarak.
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Pemerintah menetapkan pajak hiburan sebesar 40% hingga 75% untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa. Hal ini termuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD).

Namun penetapan pajak ini dinilai terlalu tinggi. Sehingga pemerintah menjanjikan dua insentif yaitu PPh Badan DTP (Ditanggung Pemerintah) dan insentif fiskal yang diberikan Kepala Daerah kepada pengusaha yang mengajukan keringan pajak. 

Walau dijanjikan insentif, namun para pengusaha hiburan tetap terbebani pajak yang tinggi. Bahkan diperkirakan sebagian pelaku usaha lebih memilih menutup usahanya ketimbang menanggung beban pajak yang besar.

"Jadi banyak yang akan tidak bayar pajak, terutama usaha mikro," kata Konsultan Pajak di PT Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman kepada Katadata.co.id, Selasa (23/1).

Jika kondisi ini terus berlanjut, maka dikhawatirkan banyak outlet atau tempat hiburan menjadi sepi hingga akhirnya tutup.  Sebab, konsumen harus menanggung biaya hiburan yang lebih mahal dibandingkan sebelum pajak ini ditetapkan. 

Maka itu, Raden menyarankan, agar pemerintah menurunkan tarif pajak hiburan sehingga penerimaan pajak daerah juga menjadi lebih efektif.

“Pengalaman saya sebagai pensiunan PNS DJP, penurunan tarif menjadi memicu wajib pajak bahagia, sehingga ujungnya malah dalam pelaporan pajaknya, wajib pajak bisa menaikan omzetnya,” ujarnya.

Optimalkan Obyek Pajak Lain

Sementara itu, Pengamat perpajakan Prianto Budi Saptono punya pandangan berbeda. Menurutnya, penerimaan pajak secara umum akan tergantung pada postur pos penerimaan APBD di masing-masing kota dan kabupaten.

“Di dalam konteks ini, pemerintah daerah seperti bupati/walikota dan DPRD dapat bermusyawarah untuk mencari substitusi penerimaan pajak dari sektor pajak jasa hiburan tertentu,” ujar Priyanto.

Maka dengan berlakunya insentif tersebut, pemerintah daerah perlu mencari substitusi atau pengganti obyek pajak lain. Bisa juga dengan mengoptimalkan dan meningkatkan pajak-pajak lain yang sudah berlaku.

“Misalnya, pajak kendaraan bermotor (PKB) dan PBB sektor pedesaan dan perkotaan. Seperti Pemprov DKI JKT menjadikan dua jenis pajak tersebut sebagai penopang utama penerimaan pajak di APBD,” ujarnya.

PPh Badan DTP Dinilai Tidak Perlu

Sedangkan Pengamat Perpajakan Fajry Akbar menilai pemberian PPh Badan DTP sebesar 10% untuk industri pariwisata dinilai tidak perlu. Mengingat, masalah kenaikan pajak ini sudah ada solusinya. Yakni insentif yang diberikan oleh masing-masing pemerintah daerah.

“Terlebih jika rencana insentif PPh DTP ini diberikan untuk pelaku usaha jasa hiburan yang tidak terdampak kenaikan tarif 40-75%. Saya rasa ini aji mumpung untuk mendapatkan insentif pajak PPh DTP saja. Itu tak etis,” ujar Fajry.

PPh DTP merupakan pajak terutang yang dibayar oleh pemerintah dengan pagu anggaran yang telah ditetapkan oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ini merupakan salah satu insentif yang diberikan pemerintah kepada masyarakat.

Di sisi lain, pemberian PPh DTP ini bisa meningkat belanja pajak pemerintah. Sehingga membuat potensi pajak yang dipungut Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjadi lebih kecil dan rasio pajak (tax ratio) juga ikut terpengaruh.

“Bagaimana tax ratio kita mau naik? Padahal kita sedang berdiskusi bagaimana caranya agar dapat menaikan tax ratio,” ujarnya.

Seperti diketahui, sejumlah pengusaha hiburan protes terhadap kenaikan pajak hiburan. Mereka adalah penyanyi dangdut Inul Daratista, pengacara Hotman Paris hingga pengusaha jasa hiburan lain.

Pemerintah telah menetapkan pajak hiburan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%. Menurut para pengusaha, penetapan pajak itu dinilai terlalu tinggi sehingga akan menambah ongkos operasional dan konsumen harus membayar lebih mahal.

Mereka kemudian mengadu ke Kemenko Perekonomian dan dijanjikan pemberian insentif fiskal. Namun pemberian insetif tersebut dinilai tidak akan membantu. Sebab, beban pajak sudah tinggi, belum lagi untuk membayar kegiatan operasional dan gaji karyawan.

Reporter: Zahwa Madjid

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...