PM Thailand Sebut Negaranya Tengah Krisis Ekonomi, Apa Penyebabnya?

Agustiyanti
26 Januari 2024, 16:10
Thailand, ekonomi Thailand, thailand krisis ekonomi, krisis ekonomi
Pixabay
PM Thailand menyebut negaranya dalam kondisi krisis.
Button AI Summarize

Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin menyebut perekonomian negaranya berada dalam krisis. Ia mengatakan akan meluncurkan langkah-langkah stimulus, antara lain berupa bantuan tunai meskipun gubernur bank sentral tidak setuju dengan pendekatannya. Mengapa PM Thailand menganggap negaranya sedang krisis ekonomi?

Profesor Ekonomi Pertanian di Crawford School of Public Policy Petter Warr dalam artikelnya di laman Eastasiaforum.org menjelaskan masalah yang terjadi pada ekonomi Thailand. Pada tahun lalu, Thailand mengalami perubahan politik yang signifikan. 

Pada Mei 2023, pemilu untuk memperebutkan 500 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat menghasilkan kemenangan tak terduga bagi Partai Move Forward yang reformis dengan 151 kursi. Namun, partai tersebut bukan mayoritas di parlemen. Adapun tempat kedua diisi  adalah Partai Pheu Thai yang populis dengan kemenangan 141 kursi.

Keberhasilan Partai Move Forward dalam pemilu, yang sebagian besar didasarkan pada dukungannya di kalangan pemilih muda Thailand, mengejutkan sebagian besar pengamat. Agenda mereka yang berorientasi pada reformasi berpotensi mengancam posisi elit negara tersebut.

Manuver dalam senat yang beranggotakan 250 orang yang tidak melalui pemilihan menghalangi Partai Maju untuk membentuk pemerintahan. Koalisi yang dipimpin oleh Partai Pheu Thai, yang mencakup partai-partai yang mewakili pemerintahan yang didukung militer, mampu membentuk pemerintahan mayoritas. Srettha Thavisin, seorang taipan real estate dan bukan anggota parlemen terpilih, dicalonkan oleh Partai Pheu Thai sebagai perdana menteri dan diangkat pada Agustus 2023.

Situasi politik yang rumit ini terjadi dalam konteks pertumbuhan ekonomi yang tengah melambat. Pertumbuhan PDB riil Thailand pada tahun 2023 diperkirakan sebesar 2,5%, terendah di Asia Tenggara setelah Myanmar. Proyeksi ekonomi Thailand untuk tahun 2024 dan seterusnya pun diperkirakan semakin lemah.

Inflasi Thailand pada tahun lalu tetap berada di bawah 1%. Angka pengangguran sebenarnya tidak menjadi masalah, tetapi masalah ada pada upah riil yang rendah. Ini karena Partai Pheu Thai dalam kampanyenya menjanjikan mencakup pemberian uang tunai kepada seluruh warga negara Thailand dan kenaikan upah minimum dalam jumlah besar.

Tak lama setelah menjabat, janji pemilu berupa pemberian uang tunai menjadi tujuan utama kebijakan. Pemerintah akan membagikan uang dalam bentuk  ‘dompet digital’ sebesar 10.000 baht Thailand atau setara Rp 4,44 juta untuk setiap warga negara Thailand. Suntikan likuiditas ini akan dibiayai oleh pinjaman pemerintah sebesar 500 miliar baht atau setara Rp 222 triliun.

Inisiatif ‘dompet digital’ mungkin mempunyai manfaat redistributif sementara. Namun, para pakar hukum berpendapat bahwa pinjaman pemerintah dalam jumlah besar hanya akan sah jika situasi saat ini dianggap sebagai ‘krisis sementara’. Pertanyaan yang lebih mendasar adalah apakah stimulus permintaan masuk akal secara ekonomi?

Menurut Warr, kebijakan pemerintah tersebut salah kaprah di tengah kondisi masalah utama ekonomi Thailand saat ini. Alasan utama tetap melambatnya pertumbuhan ekonomi Thailand adalah bukan karena kurangnya permintaan. Pada periode lockdown akibat Covid-19 pada 2020-2021

Kebijakan saat ini mencerminkan kesalahpahaman mengenai masalah utama perekonomian Thailand. Alasan tetap lambatnya laju pertumbuhan ekonomi sejak Krisis Keuangan Asia bukan karena kurangnya permintaan agregat. Selama periode lockdown akibat COVID-19 pada tahun 2020–2021, teori keynes banyak digunakan pemerintahan yakni memberikan stimulus untuk mendorong permintaan. Stimulus itu memang terjadi sebagaimana mestinya saat itu.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...