Deflasi Cina Bikin Ekonomi Dunia Was-was, Bagaimana Dampak ke RI?
Banyak negara yang bergulat dengan kenaikan laju inflasi, namun Cina justru sebaliknya. Negara ini mengalami risiko deflasi sehingga membuat ekonomi dunia was-was, termasuk Indonesia.
Indeks Harga Konsumen (IHK) Cina tercatat turun 0,8% yoy pada Januari 2024. Ini merupakan penurunan terbesar lebih dari 14 tahun dan lebih buruk dari perkiraan pasar yang hanya turun di level 0,5%.
Tak hanya inflasi, Indeks Harga Produsen (IHP) juga turun 0,5%, dibandingkan proyeksi penurunan 2,6%. Biaya di tingkat pabrik telah mengalami deflasi selama 16 bulan berturut-turut.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memperkirakan, penurunan tersebut akan berdampak pada perdagangan dan investasi Cina ke Indonesia.
Apalagi, Indonesia merupakan pemasok bahan baku properti ke Cina seperti stainless steel dan tembaga. Belum lagi, berpengaruh terhadap permintaan komoditas olahan primer seperti komoditas perkebunan dan pertambangan.
Selain, akan berpengaruh terhadap risiko investasi Cina di Indonesia. Bhima memperkirakan, investor Cina bisa menunda atau menghitung ulang investasi di tanah air karena ekonomi dalam negeri mereka sedang tidak bagus.
"Investor cenderung fokus pada investasi lain di dalam negeri selain Indonesia. Investor lain seperti Singapura, Cina dan Hong Kong juga saling terkait akan efeknya sehingga Indonesia harus bersiap-siap," kata Bhima kepada Katadata.co.id, Senin (12/2).
Surplus Neraca Perdagangan Akan Tergerus
Selain berdampak pada investasi, diperkirakan surplus neraca perdagangan Indonesia bisa lebih kecil karena pertumbuhan ekspor yang lebih rendah. Sehingga, Indonesia perlu mencari pasar alternatif lain di Asia Timur maupun Asean.
Tak hanya itu, Bhima juga menyarankan untuk diversifikasi investasi ke negara lain selain Cina. Misalnya, dengan mengundang investor dari Eropa dan Amerika Serikat (AS) yang memiliki standarisasi tata kelola yang lebih tinggi.
"Mereka menerapkan standar hilirisasi yang tinggi baik untuk standar lingkungan dan tenaga kerja," kata Bhima.
Jika solusi itu tidak dilakukan, akan berdampak besar terhadap ekonomi Indonesia yang sudah sembilan tahun bergantung ke Cina. Bhima memperkirakan, ekonomi Indonesia akan tumbuh di bawah 5% sebagai dampak perlambatan ekonomi Cina.
"Mungkin [penurunan ekonomi] akan terasa di kuartal I 2023, namun momen ramadan akan mendukung konsumsi dalam negeri. Tapi dampak secara eksternal [Cina], membuat ekonomi hanya tumbuh 4,7%-4,8% pada 2024," kata Bhima.
Sektor Properti Pengaruhi Ekonomi Cina
Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Yusuf Rendy Manilet menyebut, penurunan inflasi dan krisis properti merupakan kombinasi dari faktor yang memang akan memengaruhi perlambatan ekonomi Cina terutama pada tahun ini.
"Sektor properti, sebagai salah satu kontributor besar pada perekonomian Cina, mengalami penurunan kinerja yang cukup signifikan. Kontribusi sektor properti, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat memengaruhi perekonomian Cina sebanyak 24%-30%," kata Yusuf.
Menurutnya, krisis di sektor properti tersebut tidak hanya berdampak pada penurunan belanja rumah tangga dan investasi, namun juga pada penerimaan pemerintah. Penurunan nilai aset properti yang berlangsung sejak 2021 menyebabkan penurunan kekayaan masyarakat Cina.
Bahkan sekitar 70% dari aset masyarakat urban Cina disimpan dalam bentuk properti. Perlambatan ekonomi Cina yang tergambar dari perlambatan tingkat konsumsi masyarakat, turut menurunkan tingkat impor dari negara-negara mitra.
Dengan begitu, penurunan ini dapat berdampak luas pada pelemahan perekonomian global, mengingat kontribusi impor Cina terhadap perdagangan global sebelum pandemi mencapai 10,8%.
"Jika ekonomi dunia melambat, maka salah satu dampaknya, ekonomi negara emerging market melambat seperti Indonesia. Tentu perlambatan ekonomi Cina juga akan berdampak terhadap melambatnya harga komoditas," kata Yusuf.
Ekspor RI Akan Terganggu
Jika ekonomi Cina terus melambat, maka akan memengaruhi kinerja ekspor Indonesia sepanjang tahun 2024. Bahkan Yusuf memperkirakan, potensi penerimaan negara dari produk ekspor unggulan Indonesia juga akan anjlok.
"Secara umum harga komoditas seperti batubara, nikel, CPO, merupakan komoditas yang akan terdampak kondisi Cina saat ini," ujar Yusuf.
Untuk jangka pendek, kata Yusuf, pemerintah bisa mencari potensi pasar lain ataupun meningkatkan proporsi ekspor komoditas ke negara lain. Beberapa negara yang punya peluang di Asia Selatan seperti Pakistan dan India. Selain itu, negara-negara Afrika Utara seperti Mesir
"Saya kira juga bisa mendapatkan porsi dalam konteks mendorong diversifikasi negara tujuan di periode perlambatan perekonomian Cina ini," kata dia.
Selain itu, pemerintah juga perlu memitigasi dampak tidak langsung dari perlambatan ekonomi Cina. Sehingga pemerintah perlu mengoptimalkan pos belanja lain selain ekspor. Misalnya belanja pemerintah dan juga konsumsi rumah tangga.
"Untuk belanja pemerintah dari sisi kebijakan fiskal, Saya kira dengan melakukan automatic adjustment di awal tahun sudah relatif baik, tetapi tentu perlu dipertimbangkan atau diperhitungkan dengan potensi perkembangan penerimaan negara di pertengahan tahun nanti," kata dia.