Pajak Kripto Bikin Nasabah RI Transaksi di Luar Negeri, Ini Respon DJP
Pajak kripto dinilai memengaruhi nilai transaksinya di dalam negeri. Pasalnya penetapan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) terhadap transaksi kripto mengakibatkan banyak para nasabah yang bertransaksi kripto di luar negeri.
Direktorat Jenderal Pajak mengatakan pemerintah telah mengenakan tarif yang rendah untuk pengenaan pajak kripto. Begitu pula untuk bursa (exchange) kripto yang terdaftar dalam Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi atau Bappebti.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Dwi Astuti mengatakan hal ini dilakukan untuk menarik exchanger kripto melakukan transaksi di dalam negeri.
Sejak Mei 2022, setiap transaksi kripto di Indonesia dikenakan PPN sebesar 0,11% dari nilai transaksi pada bursa yang terdaftar di Bappebti, ditambah PPh sebesar 0,1%.
“Rendahnya tarif ini dapat menjadi insentif yang menarik bagi exchanger kripto untuk tetap melakukan kegiatan usahanya di Indonesia,” ujar Dwi Astuti kepada Kadatada, Jumat (1/3).
Sementara penegakkan tarif pajak bagi bursa yang belum terdaftar di Indonesia, dikenakan tarif PPN sebesar 0,22% dan PPh sebesar 0,2%. Peraturan ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 Tahun 2022.
Sebagai informasi, DJP mencatat hingga akhir Januari 2024, realisasi pendapatan negara dari pajak kripto telah mencapai Rp39,13 miliar. Sebesar Rp 18,2 miliar di antaranya berasal dari PPh pasal 22, kemudian Rp 20 miliar berasal dari PPN atas transaksi kripto.
Melansir Antara, Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Tirta Karma Sanjaya mengatakan pengenaan pajak terhadap aset kripto perlu dievaluasi ulang mengingat industrinya di Indonesia saat ini masih tergolong baru.
Namun, pengenaan pajak aset kripto tetap penting karena telah memberikan kontribusi besar pada penerimaan negara. Bahkan pajak aset kripto melampaui 50% dari pajak teknologi keuangan (fintech).
Pajak dari fintech pada akhir Januari 2024 tercatat mencapai Rp 32,59 miliar. Jumlah ini terdiri dari PPh Pasal 23 sebesar Rp 20,5 miliar dan PPh Pasal 26 sebesar Rp 12,09 miliar