Ini Alasan Pengusaha Spa Ajukan Uji Materi Soal Kenaikan Pajak Hiburan
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar uji materi terkait kebijakan pajak hiburan yang diajukan oleh pengusaha spa. Dalam hal ini, pemohon menguraikan potensi kerugian akibat kenaikan tarif Pajak Barang Dan Jasa Tertentu (PJBT) atau hiburan sebesar 40%-75%.
Kuasa hukum para pemohon, Mohammad Ahmadi mengatakan, kerugian atas kenaikan pajak hiburan akan berdampak pada aspek ekonomi maupun sosial.
“Kerugian ekonomi berupa pengenaan pajak yang tinggi sebesar 40% dan potensi bangkrutnya usaha spa sebagai pengenaan pajak yang tinggi tersebut,” ujar Ahmadi dalam keterangan resmi MK dikutip Selasa (5/3).
Selain itu, dia menyebut adanya potensi tarif pajak ganda dengan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sekaligus tarif PJBT. Kemudian ada potensi bangkrutnya usaha pengusaha spa yang bisa berimbas pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan.
Ahmadi mengatakan, para pemohon merasa dirugikan karena usaha spa yang bergerak dalam bidang kesehatan dikategorikan sebagai penyedia jasa kesenian dan hiburan yang disamakan dengan diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar.
Akibatnya, pengusaha spa harus menanggung tarif pajak hiburan sebesar 40%-75% yang dikenakan pemerintah daerah (Pemda). Sementara, usaha sejenis panti pijat dan pijat refleksi hanya dikenakan pajak hiburan sebesar 10%.
Para pemohon juga ingin memperbaiki kedudukan hukum, kewenangan MK, alasan-alasan pokok permohonan, serta petitum. Dalam petitumnya itu, para pemohon meminta Pasal 55 ayat (1) huruf l dan Pasal 58 ayat (2) UU HKPD bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.
"Para Pemohon meminta MK memaknai norma tersebut tanpa mencantumkan frasa “dan mandi uap/spa," kata Ahmadi.
Menurut para pemohon, seharusnya usaha mandi uap/spa yang merupakan jasa pelayanan kesehatan tradisional tidak dimasukkan dalam kategori jasa seni dan hiburan yang dikelompokan bersama diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar.