Sri Mulyani Waspadai Lonjakan Inflasi Akibat Pelemahan Rupiah
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tengah mewaspadai dampak pelemahan rupiah terhadap lonjakan inflasi nasional. Hal ini dipicu oleh situasi global yang berdampak pada ekonomi Indonesia, terutama kinerja perdagangan.
"Di sisi ekspor, penerimaan akan jauh lebih baik dengan nilai tukar dolar AS yang menguat. Namun di sisi impor, konversi harga dolar terhadap rupiah yang akan lebih tinggi dan bisa berdampak pada inflasi di Indonsia," kata Sri Mulyani dalam unggahan Instagramnya dikutip Selasa (22/4).
Mengantisipasi hal itu, Bendahara Negara ini akan terus waspada terhadap perkembangan ekonomi saat ini. "Saya yakin Indonesia akan tetap resilien dalam situasi ini,” ujar Sri Mulyani.
Selain itu, pihaknya juga akan mendorong stabilitas ekonomi makro baik dari sisi moneter maupun fiskal. Hal ini dibarengi koordinasi dengan Bank Indonesia yang juga terus dilakukan untuk beradaptasi terhadap tekanan yang ada.
“Dari sisi fiskal, kita memastikan APBN berperan menjadi shock absorber yang efektif dan kredibel,” ujarnya.
Sri Mulyani masih optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 5% pada 2024. Pasalnya, Indonesia memiliki resiliensi ekonomi yang bagus, seperti saat melewati krisis pandemi lalu
“Di tengah kondisi suku bunga dan inflasi global yang tinggi seperti saat ini, saya yakin ekonomi Indonesia akan tetap terjaga sesuai target, didukung oleh sisi ekspor yang kuat dan neraca perdagangan yang surplus,” ujarnya.
Ekonomi RI Diprediksi Masih Tumbuh 5% di 2024
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bisa mencapai 4,5%-5% pada 2024, kendati terjadi eskalasi konflik Iran-Israel.
“Dengan eskalasi konflik yang sekarang, menurut saya dampak terhadap ekonomi di sektor riil masih terbatas, untuk tumbuh sampai 4,5% sampai 5%, saya masih punya keyakinan di 2024 kita masih bisa tumbuh,” kata Eko dikutip dari Antara, Senin (22/4).
Keyakinan terhadap pertumbuhan ekonomi di kisaran 4,5%-5% didasari pengalaman Indonesia yang berhasil melalui tantangan akibat perang antara Rusia dengan Ukraina sejak 2022 lalu.
Saat itu, kebutuhan pangan terutama gandum mengalami hambatan di tingkat global, tetapi ekonomi Indonesia secara makro masih tetap tumbuh.
“Memang tidak akseleratif (pertumbuhan ekonomi Indonesia), tapi untuk sekadar bertahan, sebetulnya masih memungkinkan dalam situasi ketidakpastian ekonomi dan geopolitik yang meningkat saat ini,” ujar Eko.
Dia menilai, dampak konflik Iran-Israel takkan terjadi apabila pemerintah dapat mengelola komponen konsumsi dan produksi, terutama berkaitan dengan industri sebagai salah satu sektor penggerak pertumbuhan ekonomi.
Namun, untuk menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga 7%, agak sulit dilakukan karena kondisi global tidak mendukung dan keadaan domestik belum mampu menunjang optimisme fundamental ekonomi dalam negeri.
“Ekonomi kita itu, sebetulnya masih inward looking (kebijakan yang berfokus pada pengembangan industri dalam negeri), jadi masih sangat didominasi oleh aktivitas domestik," kata dia.
Eko juga mengungkapkan, tantangan ekonomi lain yang dihadapi Indonesia pada tahun 2024, seperti nilai tukar rupiah yang cenderung naik turun atau berfluktuasi.
"Kemudian harga energi juga cenderung meningkat, itu tetap saja berdampak terhadap ekonomi domestik dan akan menggerus kemampuan ekonomi kita,” ujarnya.