IMF Naikkan Proyeksi Ekonomi Asia Pasifik Jadi 4,5% di 2024

Ferrika Lukmana Sari
30 April 2024, 17:16
IMF
ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/nz
Wisatawan memilih produk kerajinan saat berbelanja di Krisna Oleh-Oleh Bali Bypass, Kuta, Bali, Kamis (11/4/2024). Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif memproyeksikan perputaran ekonomi di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif akan mencapai Rp276,11 triliun selama momen libur lebaran tahun 2024.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Pasifik menjadi 4,5% pada tahun 2024.

Berdasarkan laporan Regional Economic Outlook Asia and Pacific yang dirilis IMF, proyeksi pertumbuhan ekonomi tersebut naik 0,3% dibandingkan proyeksi pada Oktober 2023 lalu.

Direktur Departemen Asia dan Pasifik IMF Krishna Srinivasan menjelaskan, alasan kenaikan proyeksi ekonomi tersebut, karena mencermati pertumbuhan ekonomi yang solid di 2023 serta adanya dukungan kebijakan pemerintah.

Bahkan, aktivitas ekonomi di Asia dan Pasifik melampaui ekspektasi pada paruh kedua tahun 2023, meski hadapi sejumlah tantangan, yang ditandai dengan kebijakan moneter yang ketat dan permintaan eksternal yang lemah.

"Kami berharap kawasan Asia Pasifik tetap menjadi wilayah yang paling dinamis didunia, dengan menyumbang sekitar 60% pertumbuhan ekonomi global," kata Krishna dikutip dari laporan IMF, Selasa (30/4).

IMF mencatat, pertumbuhan ekonomi kawasan ini mencapai 5,0% pada 2023. Nilai ini naik 0,4% lebih kuat dari perkiraan pada Oktober 2023 lalu. Pertumbuhan ini terutama didorong permintaan domestik yang kuat di negara berkembang.

Namun, inflasi telah terjadi terus menurun, terutama di negara-negara berkembang di Asia, yang tercermin pada pengetatan moneter yang pada tahun 2022 dan awal tahun 2023.

Hal ini seiring dengan menurunnya harga komoditas, rendahnya inflasi harga barang manufaktur global, dan meningkatnya kapasitas pasokan pasca pandemi Covid-19.

Krishn bilang, ada perbedaan kecepatan dan tingkat disinflasi di antara negara-negara Asia. Namun, beberapa negara masih mengalami tekanan harga yang berkelanjutan dan ada pula yang menghadapi risiko deflasi.

Meski demikian, sebagian negara mencatatkan kinerja yang menggembirakan pada awal tahun 2024. IMF kemudian memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini akan berlanjut dan mencapai 4,5%.

Krishna mengungkapkan, proyeksi pertumbuhan ekonomi itu mempertimbangkan sejumlah faktor. Pertama, negara-negara di kawasan Asia Pasifik memiliki arah kebijakan makro ekonomi yang tepat.

Kedua, lonjakan inflasi atau tekanan harga mulai mereda, terutama di negara-negara dengan tingkat inflasi di atas target. Sementara inflasi akan meningkat pada negara dengan tingkat inflasi rendah.

Proyeksi Ekonomi Asia Pasifik di 2025

Sementara itu, proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2025 sebesar 4,3% atau sesuai dengan proyeksi sebelumnya. Krishna mengatakan, faktor utama perlambatan terjadi karena ekonomi Cina berkontraksi pada tahun depan.

"Sektor properti turun lebih dalam, sehingga diperkirakan menjadi risiko penurunan [ekonomi], meski pemerintah telah mengeluarkan banyak kebijakan. Risiko ini akan memberi dampak buruk bagi negara tetangga Cina," kata Krishna.

Sebaliknya, keberhasilan Jepang keluar dari suku bunga negatif akan mengurangi kekhawatiran pasar terhadap dampak buruk penetapan harga secara tiba-tiba.

Untuk itu, bank sentral diminta untuk memastikan tingkat inflasi kembali sesuai target, baik di negara-negara yang mengalami inflasi yang persisten akibat tekanan harga atau pun di negara-negara yang menghadapi risiko deflasi.

Krishna juga menyarankan, agar pemerintah fokus pada stabilitas harga di dalam negeri dan menghindari keputusan yang terlalu condong pada kebijakan bank sentral AS, The Fed.

IMF juga memperkirakan tingkat utang yang lebih tinggi dan biaya bunga membebani neraca fiskal. Oleh karena itu, upaya untuk menjaga konsolidasi fiskal perlu dilakukan, terutama dalam mengatasi tantangan struktural jangka menengah, termasuk populasi yang menua dan perubahan iklim.

"Semakin ketat kebijakan moneter dalam dua tahun terakhir juga masih memengaruhi neraca korporasi dan rumah tangga. Pemerintah harus terus memantau dengan cermat penumpukan risiko tersebut," kata dia.

Reporter: Ferrika Lukmana Sari

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...